Sejauh apapun kamu berlari, dia akan tetap berdiri disini. Menunggumu
berbalik arah, menanti kedatanganmu dari tempat yang mungkin belum pernah kamu
lalui.
“Bushra, ayo siap-siap. Hari ini kita akan ke rumah tetangga baru”,
panggil Aba, Ayahnya.
“Baik, Abi. Memang siapa Bi
tetangga kita yang baru?”, Bushra terlihat penasaran.
“Kemarin mereka lihat-lihat
rumah kita yang dijual. Anaknya itu ternyata teman kamu di Pondok. Laki-laki”,
jawab Umma. Bushra adalah seorang gadis berusia enam belas tahun yang sedang
mengenyam pendidikan di sebuah pesantren di Ibu Kota. Sebut saja Pondok Pesantren
Al-Mau’idzah, Bushra sudah lima tahun menimba ilmu disana.
Bushra tersenyum, entah apa yang terlintas di pikirannya. Mungkin
hatinya kini sedang sibuk bertanya “Wah, ikhwan. Angkatan berapa ya?
Siapa ya namanya? Bagaimana ya orangnya?” dan lain sebagainya. Maklum, anak
baru gede seumur Bushra sedang senang-senangnya ‘mencuci mata’. Meskipun
ada batasan antara santriwan dan santriwati di Pondoknya, namun selalu ada saja
celah yang dipikirkan remaja masa kini.
Lamunan Bushra terhenti ketika Aba membunyikan klakson mobil,
melambaikan tangan mengajak anak gadisnya agar segera memasuki mobil. “Mengapa
ke rumah tetangga saja harus mengendarai mobil?”, Bushra bertanya dalam hati.
Sepuluh menit kemudian, pertanyaan itu pun terjawab.
Seorang Bapak menunggu di gerbang
rumah bertingkat dua, ketika melihat Aba berjalan mendekat, Bapak tersebut
segera menyambut Aba dan Umma dengan senyuman dan salam.
“Assalamualaikum
Bapak Ibu, wah ini ya yang namanya dik Bushra. Cantik masha Allah”, seorang Ibu
mendekati kemudian mengelus pipi Bushra. Tatapan dan senyuman Ibu tersebut
sangat bersahabat, menularkan kehangatan yang mampu dirasakan Bushra.
Panggil saja Ibu
Rima, beliau bertanya kepada Bushra tentang sosok laki-laki disebuah bingkai
foto yang terpasang di dinding ruang tamu. Bushra menggeleng, mengaku tidak
kenal. Senyuman tersimpul halus dari bibir Ibu Rima, disusul dengan senyuman
Aba dan Umma. Dari situ Bushra tahu bahwa ada satu hal yang mereka sembunyikan.
Baiklah, Bushra akan bertanya ketika pulang nanti. Tidak lama kemudian, Aba
berpamit pulang.
Ditengah
perjalanan, Bushra bertanya kepada Aba dan Umma tentang laki-laki yang
ditanyakan Ibu Rima. Mendengar jawaban keduanya, jantung Bushra mendadak
berdenyut lebih kencang, bulu kuduknya perlahan berdiri. Bushra terdiam, dia
tidak berkata apa-apa.
Kehidupan Bushra
mulai berubah, disaat liburan bulanan, Aba dan Uma selalu membuat jadwal makan
malam dengan keluarga Ibu Rima. Kali itu, Bushra melihat seorang laki-laki
berjalan memegangi tangan kanan Ibu Rima. Bushra menyadari bahwa laki-laki
itulah yang ada di foto. Bushra melempar senyum kepada Ibu Rima dan
keluarganya, kini dia tahu bahwa laki-laki itu bernama Rafa.
Bushra dan Rafa
dijodohkan, begitulah bahasa yang paling singkat untuk menjelaskan keadaan
keduanya. Hari demi hari hubungan mereka mulai erat, meskipun Bushra sekolah
didalam Pesantren, namun hubungan keduanya tetap terjalin ketika liburan. Rafa
yang kini sedang kuliah sarjana pun selalu menyempatkan pulang ke rumahnya
ketika Bushra libur. Dua bulan setelah makan malam pertama, Bushra yang kini
fokus dengan ujian akhir Pondoknya mulai jarang menghubungi Rafa. Bushra tahu
bahwa Rafa sudah mencintai dirinya, namun lain halnya dengan Bushra, dia merasa
bahwa perasaan cinta masih belum muncul. Meskipun setiap minggu Rafa selalu
datang ke Pondok untuk menitipkan bunga mawar kesukaan Bushra, namun bukankah
cinta tidak bisa dipaksa untuk hadir?
“Mahabbah (cinta) itu
datangnya dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, memintanya melalui doa bukan
selalu mengundangnya hadir. Allah, Sang Pemilik Cinta, Maha Penggenggam Hati,
paling tahu kapan seharusnya Dia datangkan cinta kepadamu. Karena tepat
menurutmu, belum berarti tepat menurut-Nya”, Bushra melihat petikan kalimat
indah yang menggelitik hatinya. Mungkin ini jawaban untuknya tentang alasan
mengapa belum juga bisa menyayangi Rafa. Waktu yang disediakan Allah untuk
Bushra kali ini bukanlah untuk mengurusi perasaan cinta, juga bukan demi
mengabdi pada hakikat kasih makhluk yang membawanya lebih dekat dengan
Tuhannya. Kini, yang Allah sediakan adalah waktu untuk menjadi santriwati yang
siap lulus ujian, demi mendapatkan gelar terbaik seperti mimpi Bushra dulu.
Tidak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Dengan penuh kerja keras,
Bushra berhasil lulus ujian dengan predikat Mumtaz (sangat baik). Bushra
sukses membuat Aba dan Umma menangis bahagia, dia tidak berhenti bersyukur
kepada Allah karena hadiah yang mahal itu bisa menjadi miliknya. Air mata
orangtua memang kebahagian paling mahal menurut Bushra. Rafa pun turut hadir di
momen bahagia itu, mengucapkan kata selamat dan mendoakan keberkahan untuk
Bushra.
Setelah lulus, Bushra mengikuti les di Pare, Kediri. Lagi-lagi dia
harus berpisah dengan Aba, Umma dan keluarganya. Selang beberapa hari di Pare,
kakak Bushra, Mas Hadi mengabarkan informasi yang membuat Bushra terkaget.
“Rafa selingkuh, dik”, Mas Hadi mengirim bukti percakapan antara
Rafa dan seorang perempuan di sebuah media sosial. Bushra sangat kecewa, jelas
saja, dia merasa dikhianati. Bushra sadar meskipun Aba dan Umma tidak pernah
menyatakan bahwa Rafa dan dirinya 100% akan menikah, namun komitmen tersembunyi
antara kedua keluarga bisa menjadi bukti bahwa hubungan mereka serius. Sejak
saat itu, tanpa perlu bertabayyun (meminta penjelasan), Bushra mulai
membenci Rafa.
Dua bulan adalah waktu yang cukup singkat untuk mengambil les di Kampung
Inggris tersebut. Bushra kembali ke daerahnya dengan niat bahwa dia akan
membeberkan semua pengkhianatan Rafa. Sejak satu bulan terakhir, Bushra
berhenti menghubungi Rafa.
Sesampainya di rumah, Bushra menghela napas panjang kemudian
meminta maaf kepada Aba dan Umma apabila sikapnya nanti ada yang berubah,
khususnya kepada keluarga Ibu Rima. Dengan penuh kekecewaan, Bushra
memperlihatkan segala foto dan bukti perselingkuhan Rafa yang dicuci cetak oleh
kedua kakaknya. Aba berusaha menahan emosi, dilihatnya foto Rafa dengan
perempuan yang dipanggilnya dengan sebutan Putri. Semua terdiam, keheningan mulai
terpecah ketika Bushra mengatakan lantang “Aku tidak sudi dipersuntingnya”,
dari situ masalah kembali menyapa. Setelah mendengar keputusan Bushra, tidak
bisa lagi Umma membendung kekecewaannya. Entah apa yang disembunyikan Umma,
rasanya kekecewaan itu seakan menggunung membuat dadanya sesak.
“Saya memohon maaf dan akan
bertanggung jawab atas kesalahan saya”, Rafa menunduk malu sambil memohon maaf
kepada Abba. Bushra yang hadir disitu juga sempat menguatkan suara, berkata
tentang pentingnya kejujuran dan kepercayaan. Meskipun Bushra sangat jarang
menghubungi Rafa, mungkin hanya dua minggu satu kali, namun Bushra tidak bisa
dibohongi dengan cara seperti ini. Yang menjadi titik kekecewaannya bukanlah
perasaan miliknya, namun perasaan dan harapan Aba, Umma serta kedua orangtua
Rafalah yang sedari dulu sudah saling bertaut.
Ibu Rima mengidap penyakit jantung sejak kecil, umurnya yang
semakin tua membuatnya harus ekstra hati-hati khususnya dalam menjaga emosi
jiwa. Rafa berusaha menjelaskan kesalahannya, dia diusir dari rumah karena Ibu
Rima sangat kecewa dengan kelakuan anak laki-lakinya itu. Malam harinya, Ibu Rima
menemui keluarga Bushra, meminta maaf sekaligus menyalahkan.
“Kalau dik Bushra tidak bersikap dingin terhadap Rafa, tidak
mungkin Rafa berbuat semacam ini”, tangisan dan permohonan Ibu Rima tetap tidak
dipedulikan Bushra, dia terlihat begitu sombong sambil mengatakan,
“Sudah Ibu, bukankah jodoh tidak akan pernah tertukar? Jika nanti
kami berjodoh, sejauh apapun kami berpisah, takdir pasti yang akan menjadi
penghubungnya”, Ibu Rima yang mendengar jawaban Bushra menimpali “Tidak bisa!
Inilah ikhtiar kami yang diinginkan Allah, kalau kami tidak usaha, bagaimana
mungkin Allah membiarkan kami mendapatkan apa yang kami inginkan?”, Aba mulai
kebingungan, Mbak Zulfa dan Mas Hadi diminta datang ke rumah sekarang juga.
“Ibu, mari kita serahkan semuanya kepada Allah. Kita harus percaya
dengan segala jalan takdir-Nya. Bahwa nasi yang sudah ditangan pun masih
mungkin terjatuh ketika akan dimasukkan ke dalam mulut, begitulah rezeki dan
begitu pula jodoh. Jika memang Bushra bukan untuk Rafa, semoga keduanya
mendapatkan pasangan yang saling memudahkan mereka untuk lebih mendekat kepada
Rabbi”, kalimat Mas Huda menutup segala skenario drama malam itu. Keluarga Ibu
Rima pulang dengan membawa kekecewaan. Sedangkan Bushra sebaliknya, dia
tersenyum karena habis sudah kesempatan menangisnya. Ya, dia tidak pernah
menangis selama satu tahun ini kecuali hanya karena memikirkan nasib dirinya
dengan Rafa, si lelaki yang hadir tanpa diundang itu.
Satu tahun berlalu, hubungan antara keluarga Bushra dan keluarga
Rafa sudah tidak sehangat dulu. Kini Bushra melanjutkan studi kuliahnya di
negeri tetangga, Malaysia. Disana, Bushra mulai diganggu kembali dengan
kehadiran laki-laki yang mengaku mengaguminya. Bushra bukanlah perempuan yang
mudah menerima cinta, dia takut kecewa seperti ketakutannya terdahulu ketika
disakiti Rafa. Hari demi hari dilewatinya, percakapan via Whatsapp
antara Bushra dan kakak kelasnya, sebut saja Arham, berjalan bagai aliran air
yang kian menenangkan. Arham yang dianggapnya dulu sebagai gangguan, kini
dibalikkan Allah menjadi sebuah nikmat. Ya, Bushra jatuh cinta kepada Arham.
Bushra mulai mendoakan Arham dari jauh, ditiap sujud dan tahajjud,
Bushra tidak pernah lupa menyebut nama pemuda berjarak usia 10 tahun diatasnya.
Apa yang tidak dimiliki Arham? Dia adalah lelaki tampan yang pintar, Arham
menghabiskan masa kuliahnya di Dubai, Uni Emirat Arab. Kesopanan dan kelembutan
Arham berhasil memukau Bushra.
Tiga bulan berlalu dengan lambat dan hangat, sampai suatu hari
keadaan terasa dingin ketika Arham memanggil Bushra dengan sebutan “Bushraku”,
Bushra yang melihat pesan di Whatsapp tersebut merasa kesal. Sewajarnya,
setiap perempuan menyukai panggilan tersebut, namun Bushra tidak seperti
perempuan pada umumnya. Meskipun dia mencintai Arham, justru dirinya benci
mendengar kata-kata itu. Setelah menjelaskan keberatan Bushra, Arham pun
meminta maaf dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Setelah kejadian hari
itu, Bushra memutuskan untuk menjauh. Perasaan cinta yang semakin berkembang
diantara dirinya dan Arham merupakan ujian dari Allah, cinta belum halal ini
tidak boleh berlanjut, tegasnya.
Enam bulan lamanya Bushra dan Arham memutuskan untuk saling tidak berkomunikasi.
Meski tidak diucapkan, Arham sepertinya mengerti sikap diam Bushra. Justru
sikap inilah yang membuat Arham melangkah maju. Setelah berbicara dengan
gurunya, Arham menghubungi Bushra kembali dan berniat untuk bertemu Aba dan
Umma.
“Datangkan saja, Aba ingin melihat Arham”, Aba mempersilakan Arham
untuk datang. Bushra yang menghubungi Aba dari Malaysia segera mengabarkan
Arham. Adalah sebuah kebahagiaan jika Arham benar-benar ingin berkenalan dengan
Aba dan Umma minggu ini.
Memang mencintai hanya indah jika kita pautkan kepada Allah, bukan
kepada makhluk-Nya. Arham melarikan diri, mungkin itulah kalimat yang pantas
untuk pemuda yang tidak bertanggung jawab. Setelah bersilaturahim ke rumah
Bushra, Arham meminta Aba dan Umma untuk datang sesekali ke rumahnya di
Jakarta. Namun, setiap Aba ingin pergi kesana, Arham selalu membuat banyak
alasan. Aba akhirnya meminta Bushra untuk melupakan Arham. Tanpa rasa sakit
hati, Bushra sanggup move on dari Arham. Laki-laki yang sangat
dicintainya kini hanya dianggapnya debu yang mudah sekali terbang kemudian
menghilang. Dari awal, Bushra mencintai Arham karena Allah, dan Allah pula yang
menanggalkan perasaan itu. Jika Arham mengecewakan orang yang paling dicintai
Bushra, untuk apa lagi Bushra mempertahankannya?
“Percuma belajar tinggi-tinggi dan ikut pengajian dimana-mana kalau
akhlak terhadap orangtua seperti ini”, Bushra meluapkan kekecewaannya. Sejak
saat itu, Bushra kembali berhenti berhubungan dengan Arham yang sempat meminta
maaf atas sikapnya.
Mungkin cinta masih belum berhenti menggoda Bushra, dua bulan
kemudian, Burhan, kakak kelasnya di Pondok dulu menambah pertemanan di Blackberry
Messenger Bushra. Tanpa basa-basi, setelah Bushra menerima pertemanan
tersebut, Burhan menyatakan bahwa dirinya serius mencintai Bushra. Mungkin Burhan
sudah lama mengintai sosial media Bushra karena dia adalah perempuan yang
sangat aktif berdakwah melalui media sosial seperti Facebook dan Instagram.
Kuliah sarjana di Kota Nabi, Madinah, dan hanya berbeda umur tiga tahun membuat
Bushra segera meminta izin kepada Aba dan Umma untuk mendatangkannya. Mungkin
terdengar tiba-tiba, namun untuk apalagi Bushra harus menunggu?
“Kira-kira kapan Mas Burhan
akan menikah?”, pertanyaan yang ditanyakan Bushra dijawab ragu oleh Burhan.
“Sebenarnya Ibuku mengizinkan setelah lulus S-2, tapi tenang saja,
aku akan berusaha melobinya. In sha Allah dapat restu setelah S-1. Aku
akan ke rumahmu liburan tahun ini”, jawaban Burhan merupakan suatu
ketidakpastian. Bushra mulai bingung, dia hanya perlu menunggu satu tahun untuk
lulus sarjana, sedangkan Burhan masih harus melewati waktu tiga tahun menuju
kelulusan. Aba dan Umma sebenarnya sudah berharap cepat, Bushra sadari itu.
Namun mungkinkah Bushra mampu untuk menunggu masa tiga tahun lagi?
Bushra memikirkan perjalanan cintanya yang belum berujung, ketika
Burhan izin hadir dalam mimpinya, tiba-tiba Rafa pun terlintas dalam
pikirannya. Rafa kini belajar dari kesalahan, dia tumbuh menjadi pemuda yang
membanggakan. Agama, pekerjaan, dan studinya terlihat cemerlang. Lulus sarjana
dengan predikat cumlaude kemudian melanjutkan S-2 dengan beasiswa penuh membuat Bushra
berpikir bahwa dirinya salah menilai Rafa. Bushra terlalu sombong dulu sehingga
dia sempat memandang rendah Rafa yang menurutnya tidak sebanding dengan
dirinya.
Bagaikan terbebani oleh sesuatu, Umma akhir-akhir ini sering
terjatuh sakit sampai harus dirawat inap di Rumah Sakit. Setelah kondisi Umma
membaik, Bushra menceritakan kebingungannya kepada Umma. Suara Umma terdengar
ragu, sosok tua itu menarik napas panjang,
“Nak, coba kamu pikirkan lagi tentang Rafa. Sebenarnya, Rafa kini
akan dilamar oleh seorang dokter”, Bushra terkejut. Ayah Rafa menanyakan
keseriusan Bushra. Jika benar Bushra tidak mau lagi berhubungan dengan anak
lelakinya, maka Rafa akan menerima pinangan dokter itu.
Bushra semakin kebingungan. Sejak menghubungi Umma via telepon,
Bushra memanjangkan solat malamnya. Kini dia mendawamkan solat
istikharah. Berharap cahaya Allah segera menerangi jalan Bushra. Seminggu
kemudian, jawaban untuk Bushra hadir. Burhan yang pernah didoakannya dulu berlaku
kurang sopan padanya. Sama seperti Arham dulu, panggilan kurang pantas akhirnya
terdengar lagi. Dikarenakan tidak ingin mengecewakan Umma, akhirnya Bushra
menempatkan Rafa kembali di hatinya. Dia tidak peduli apakah akan mencintai
Rafa atau tidak, hal terpenting kali ini adalah membahagiakan Aba dan Umma.
Bushra tidak sanggup lagi melihat Umma jatuh sakit karena memendam banyak
rahasia. Bushra tersadar bahwa Umma enggan memaksa anak gadisnya untuk menikahi
Rafa, namun keluarga Ibu Rima kerap meminta kepastian Bushra.
“Bolehkah aku menikah enam bulan lagi?”, Bushra meminta izin kepada
Aba dan Umma. Kebahagiaan tersirat dari kedua wajahnya. Bushra benar-benar
tidak peduli akan keterpaksaannya. Setelah mendapatkan restu dari kedua
kakaknya, Bushra menentukan tanggal pernikahan.
Siapa yang tahu bahwa Rafa, sejak dua tahun lalu sudah berdoa dan
berkata kepada Umma, “Bunda, jika saya bisa menikahi Bushra, saya ingin
menikahinya di bulan Juni 2015”, dan itulah yang terjadi. Doa Rafa terkabul, Bushra
sendiri yang menentukan tanggal pernikahannya tidak pernah tahu tentang recana Rafa.
Juni 2015 adalah harapan Rafa menikah, sama halnya dengan perencanaan Bushra. Selain
itu, Rafa dulu juga pernah meminta saran Umma untuk mendatangkan Ustadz
tersohor di Indonesia untuk menjadi wali nikah, dan ternyata doanya pun diijabah
lagi. Ustadz itu sendiri yang menentukan waktu pernikahan, setelah Subuh
pintanya, agar malaikat-malaikat masih mengelilingi jamaah para pejuang subuh
dan turut mendoakan. Ada hal lain juga yang membuat Bushra semakin yakin bahwa
Rafalah jodohnya, Rafa menawarkan tempat pernikahan di daerah yang agak jauh
dari rumah Bushra. Sebenarnya Umma kurang setuju, keduanya berusaha mencari
tiga pilihan tempat lainnya, namun apa mau dikata, ketiga tempat tersebut sudah
disewa sampai bulan Juni dan hanya menyisakan tempat pilihan Rafa. Mungkin
itulah kekuatan si pemberi harapan pasti, doa Rafa mampu melembutkan keras
kepala Bushra.
Beginilah
akhirnya, Bushra termakan ucapannya sendiri. Dirinya tidak mendapatkan laki-laki
yang dicintainya yaitu Arham yang sampai saat ini tidak pernah menjelaskan
mengapa dia seakan menolak Bushra. Justru kini dia mendapati cinta pemuda yang
dulu dibencinya. Kelembutan Rafa terhadap surganya didunia membuat Bushra
tersentuh. Seorang anak laki-laki yang sangat menyayangi ibunya in sha Allah
juga akan menyayangi istrinya sepenuh hati.
Teringat kata-kata Umma “Kita sebagai perempuan, lebih baik
dicintai daripada mencintai”. Kini Bushra bangkit dari jurang kesombongan dan
mulai tersadar. Apa yang dilakukan Rafa di masa lalunya adalah miliknya,
begitupun masa lalu Bushra adalah kepunyaan Bushra. Dia siap membahagiakan
bukan hanya kedua orangtuanya, namun juga orangtua Rafa. Sekali lagi Bushra
percaya bahwa cinta akan datang dari Allah, dia tidak pernah takut melangkah
karena perbuatannya sekarang adalah sumber kebahagiaan bagi orang disekitarnya,
terutama obat bagi sakit Umma dan jantung Ibu Rima, meskipun selalu saja ada pihak
lain yang harus tersakiti, “Burhan, maafkan aku. Semoga Allah menganugerahi
istri yang lebih baik dariku”, inilah harapan Bushra di malam sebelum akad
pernikahannya. Memang benar kata Allah, boleh jadi kamu membenci sesuatu,
padahal ia amat baik bagimu, begitu pula sebaliknya.
0 comments:
Post a Comment