Tuesday 24 November 2015

Pemberi Harapan Pasti




Sejauh apapun kamu berlari, dia akan tetap berdiri disini. Menunggumu berbalik arah, menanti kedatanganmu dari tempat yang mungkin belum pernah kamu lalui.
“Bushra, ayo siap-siap. Hari ini kita akan ke rumah tetangga baru”, panggil Aba, Ayahnya.
 “Baik, Abi. Memang siapa Bi tetangga kita yang baru?”, Bushra terlihat penasaran.
 “Kemarin mereka lihat-lihat rumah kita yang dijual. Anaknya itu ternyata teman kamu di Pondok. Laki-laki”, jawab Umma. Bushra adalah seorang gadis berusia enam belas tahun yang sedang mengenyam pendidikan di sebuah pesantren di Ibu Kota. Sebut saja Pondok Pesantren Al-Mau’idzah, Bushra sudah lima tahun menimba ilmu disana.
Bushra tersenyum, entah apa yang terlintas di pikirannya. Mungkin hatinya kini sedang sibuk bertanya “Wah, ikhwan. Angkatan berapa ya? Siapa ya namanya? Bagaimana ya orangnya?” dan lain sebagainya. Maklum, anak baru gede seumur Bushra sedang senang-senangnya ‘mencuci mata’. Meskipun ada batasan antara santriwan dan santriwati di Pondoknya, namun selalu ada saja celah yang dipikirkan remaja masa kini.  
Lamunan Bushra terhenti ketika Aba membunyikan klakson mobil, melambaikan tangan mengajak anak gadisnya agar segera memasuki mobil. “Mengapa ke rumah tetangga saja harus mengendarai mobil?”, Bushra bertanya dalam hati. Sepuluh menit kemudian, pertanyaan itu pun terjawab.
                        Seorang Bapak menunggu di gerbang rumah bertingkat dua, ketika melihat Aba berjalan mendekat, Bapak tersebut segera menyambut Aba dan Umma dengan senyuman dan salam.
            “Assalamualaikum Bapak Ibu, wah ini ya yang namanya dik Bushra. Cantik masha Allah”, seorang Ibu mendekati kemudian mengelus pipi Bushra. Tatapan dan senyuman Ibu tersebut sangat bersahabat, menularkan kehangatan yang mampu dirasakan Bushra.
            Panggil saja Ibu Rima, beliau bertanya kepada Bushra tentang sosok laki-laki disebuah bingkai foto yang terpasang di dinding ruang tamu. Bushra menggeleng, mengaku tidak kenal. Senyuman tersimpul halus dari bibir Ibu Rima, disusul dengan senyuman Aba dan Umma. Dari situ Bushra tahu bahwa ada satu hal yang mereka sembunyikan. Baiklah, Bushra akan bertanya ketika pulang nanti. Tidak lama kemudian, Aba berpamit pulang.
            Ditengah perjalanan, Bushra bertanya kepada Aba dan Umma tentang laki-laki yang ditanyakan Ibu Rima. Mendengar jawaban keduanya, jantung Bushra mendadak berdenyut lebih kencang, bulu kuduknya perlahan berdiri. Bushra terdiam, dia tidak berkata apa-apa.
            Kehidupan Bushra mulai berubah, disaat liburan bulanan, Aba dan Uma selalu membuat jadwal makan malam dengan keluarga Ibu Rima. Kali itu, Bushra melihat seorang laki-laki berjalan memegangi tangan kanan Ibu Rima. Bushra menyadari bahwa laki-laki itulah yang ada di foto. Bushra melempar senyum kepada Ibu Rima dan keluarganya, kini dia tahu bahwa laki-laki itu bernama Rafa.
            Bushra dan Rafa dijodohkan, begitulah bahasa yang paling singkat untuk menjelaskan keadaan keduanya. Hari demi hari hubungan mereka mulai erat, meskipun Bushra sekolah didalam Pesantren, namun hubungan keduanya tetap terjalin ketika liburan. Rafa yang kini sedang kuliah sarjana pun selalu menyempatkan pulang ke rumahnya ketika Bushra libur. Dua bulan setelah makan malam pertama, Bushra yang kini fokus dengan ujian akhir Pondoknya mulai jarang menghubungi Rafa. Bushra tahu bahwa Rafa sudah mencintai dirinya, namun lain halnya dengan Bushra, dia merasa bahwa perasaan cinta masih belum muncul. Meskipun setiap minggu Rafa selalu datang ke Pondok untuk menitipkan bunga mawar kesukaan Bushra, namun bukankah cinta tidak bisa dipaksa untuk hadir?
“Mahabbah (cinta) itu datangnya dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, memintanya melalui doa bukan selalu mengundangnya hadir. Allah, Sang Pemilik Cinta, Maha Penggenggam Hati, paling tahu kapan seharusnya Dia datangkan cinta kepadamu. Karena tepat menurutmu, belum berarti tepat menurut-Nya”, Bushra melihat petikan kalimat indah yang menggelitik hatinya. Mungkin ini jawaban untuknya tentang alasan mengapa belum juga bisa menyayangi Rafa. Waktu yang disediakan Allah untuk Bushra kali ini bukanlah untuk mengurusi perasaan cinta, juga bukan demi mengabdi pada hakikat kasih makhluk yang membawanya lebih dekat dengan Tuhannya. Kini, yang Allah sediakan adalah waktu untuk menjadi santriwati yang siap lulus ujian, demi mendapatkan gelar terbaik seperti mimpi Bushra dulu.
Tidak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Dengan penuh kerja keras, Bushra berhasil lulus ujian dengan predikat Mumtaz (sangat baik). Bushra sukses membuat Aba dan Umma menangis bahagia, dia tidak berhenti bersyukur kepada Allah karena hadiah yang mahal itu bisa menjadi miliknya. Air mata orangtua memang kebahagian paling mahal menurut Bushra. Rafa pun turut hadir di momen bahagia itu, mengucapkan kata selamat dan mendoakan keberkahan untuk Bushra.
Setelah lulus, Bushra mengikuti les di Pare, Kediri. Lagi-lagi dia harus berpisah dengan Aba, Umma dan keluarganya. Selang beberapa hari di Pare, kakak Bushra, Mas Hadi mengabarkan informasi yang membuat Bushra terkaget.
“Rafa selingkuh, dik”, Mas Hadi mengirim bukti percakapan antara Rafa dan seorang perempuan di sebuah media sosial. Bushra sangat kecewa, jelas saja, dia merasa dikhianati. Bushra sadar meskipun Aba dan Umma tidak pernah menyatakan bahwa Rafa dan dirinya 100% akan menikah, namun komitmen tersembunyi antara kedua keluarga bisa menjadi bukti bahwa hubungan mereka serius. Sejak saat itu, tanpa perlu bertabayyun (meminta penjelasan), Bushra mulai membenci Rafa.
Dua bulan adalah waktu yang cukup singkat untuk mengambil les di Kampung Inggris tersebut. Bushra kembali ke daerahnya dengan niat bahwa dia akan membeberkan semua pengkhianatan Rafa. Sejak satu bulan terakhir, Bushra berhenti menghubungi Rafa.
Sesampainya di rumah, Bushra menghela napas panjang kemudian meminta maaf kepada Aba dan Umma apabila sikapnya nanti ada yang berubah, khususnya kepada keluarga Ibu Rima. Dengan penuh kekecewaan, Bushra memperlihatkan segala foto dan bukti perselingkuhan Rafa yang dicuci cetak oleh kedua kakaknya. Aba berusaha menahan emosi, dilihatnya foto Rafa dengan perempuan yang dipanggilnya dengan sebutan Putri. Semua terdiam, keheningan mulai terpecah ketika Bushra mengatakan lantang “Aku tidak sudi dipersuntingnya”, dari situ masalah kembali menyapa. Setelah mendengar keputusan Bushra, tidak bisa lagi Umma membendung kekecewaannya. Entah apa yang disembunyikan Umma, rasanya kekecewaan itu seakan menggunung membuat dadanya sesak.
 “Saya memohon maaf dan akan bertanggung jawab atas kesalahan saya”, Rafa menunduk malu sambil memohon maaf kepada Abba. Bushra yang hadir disitu juga sempat menguatkan suara, berkata tentang pentingnya kejujuran dan kepercayaan. Meskipun Bushra sangat jarang menghubungi Rafa, mungkin hanya dua minggu satu kali, namun Bushra tidak bisa dibohongi dengan cara seperti ini. Yang menjadi titik kekecewaannya bukanlah perasaan miliknya, namun perasaan dan harapan Aba, Umma serta kedua orangtua Rafalah yang sedari dulu sudah saling bertaut.
Ibu Rima mengidap penyakit jantung sejak kecil, umurnya yang semakin tua membuatnya harus ekstra hati-hati khususnya dalam menjaga emosi jiwa. Rafa berusaha menjelaskan kesalahannya, dia diusir dari rumah karena Ibu Rima sangat kecewa dengan kelakuan anak laki-lakinya itu. Malam harinya, Ibu Rima menemui keluarga Bushra, meminta maaf sekaligus menyalahkan.
“Kalau dik Bushra tidak bersikap dingin terhadap Rafa, tidak mungkin Rafa berbuat semacam ini”, tangisan dan permohonan Ibu Rima tetap tidak dipedulikan Bushra, dia terlihat begitu sombong sambil mengatakan,
“Sudah Ibu, bukankah jodoh tidak akan pernah tertukar? Jika nanti kami berjodoh, sejauh apapun kami berpisah, takdir pasti yang akan menjadi penghubungnya”, Ibu Rima yang mendengar jawaban Bushra menimpali “Tidak bisa! Inilah ikhtiar kami yang diinginkan Allah, kalau kami tidak usaha, bagaimana mungkin Allah membiarkan kami mendapatkan apa yang kami inginkan?”, Aba mulai kebingungan, Mbak Zulfa dan Mas Hadi diminta datang ke rumah sekarang juga.
“Ibu, mari kita serahkan semuanya kepada Allah. Kita harus percaya dengan segala jalan takdir-Nya. Bahwa nasi yang sudah ditangan pun masih mungkin terjatuh ketika akan dimasukkan ke dalam mulut, begitulah rezeki dan begitu pula jodoh. Jika memang Bushra bukan untuk Rafa, semoga keduanya mendapatkan pasangan yang saling memudahkan mereka untuk lebih mendekat kepada Rabbi”, kalimat Mas Huda menutup segala skenario drama malam itu. Keluarga Ibu Rima pulang dengan membawa kekecewaan. Sedangkan Bushra sebaliknya, dia tersenyum karena habis sudah kesempatan menangisnya. Ya, dia tidak pernah menangis selama satu tahun ini kecuali hanya karena memikirkan nasib dirinya dengan Rafa, si lelaki yang hadir tanpa diundang itu.
Satu tahun berlalu, hubungan antara keluarga Bushra dan keluarga Rafa sudah tidak sehangat dulu. Kini Bushra melanjutkan studi kuliahnya di negeri tetangga, Malaysia. Disana, Bushra mulai diganggu kembali dengan kehadiran laki-laki yang mengaku mengaguminya. Bushra bukanlah perempuan yang mudah menerima cinta, dia takut kecewa seperti ketakutannya terdahulu ketika disakiti Rafa. Hari demi hari dilewatinya, percakapan via Whatsapp antara Bushra dan kakak kelasnya, sebut saja Arham, berjalan bagai aliran air yang kian menenangkan. Arham yang dianggapnya dulu sebagai gangguan, kini dibalikkan Allah menjadi sebuah nikmat. Ya, Bushra jatuh cinta kepada Arham.
Bushra mulai mendoakan Arham dari jauh, ditiap sujud dan tahajjud, Bushra tidak pernah lupa menyebut nama pemuda berjarak usia 10 tahun diatasnya. Apa yang tidak dimiliki Arham? Dia adalah lelaki tampan yang pintar, Arham menghabiskan masa kuliahnya di Dubai, Uni Emirat Arab. Kesopanan dan kelembutan Arham berhasil memukau Bushra.
Tiga bulan berlalu dengan lambat dan hangat, sampai suatu hari keadaan terasa dingin ketika Arham memanggil Bushra dengan sebutan “Bushraku”, Bushra yang melihat pesan di Whatsapp tersebut merasa kesal. Sewajarnya, setiap perempuan menyukai panggilan tersebut, namun Bushra tidak seperti perempuan pada umumnya. Meskipun dia mencintai Arham, justru dirinya benci mendengar kata-kata itu. Setelah menjelaskan keberatan Bushra, Arham pun meminta maaf dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Setelah kejadian hari itu, Bushra memutuskan untuk menjauh. Perasaan cinta yang semakin berkembang diantara dirinya dan Arham merupakan ujian dari Allah, cinta belum halal ini tidak boleh berlanjut, tegasnya.
Enam bulan lamanya Bushra dan Arham memutuskan untuk saling tidak berkomunikasi. Meski tidak diucapkan, Arham sepertinya mengerti sikap diam Bushra. Justru sikap inilah yang membuat Arham melangkah maju. Setelah berbicara dengan gurunya, Arham menghubungi Bushra kembali dan berniat untuk bertemu Aba dan Umma.
“Datangkan saja, Aba ingin melihat Arham”, Aba mempersilakan Arham untuk datang. Bushra yang menghubungi Aba dari Malaysia segera mengabarkan Arham. Adalah sebuah kebahagiaan jika Arham benar-benar ingin berkenalan dengan Aba dan Umma minggu ini.
Memang mencintai hanya indah jika kita pautkan kepada Allah, bukan kepada makhluk-Nya. Arham melarikan diri, mungkin itulah kalimat yang pantas untuk pemuda yang tidak bertanggung jawab. Setelah bersilaturahim ke rumah Bushra, Arham meminta Aba dan Umma untuk datang sesekali ke rumahnya di Jakarta. Namun, setiap Aba ingin pergi kesana, Arham selalu membuat banyak alasan. Aba akhirnya meminta Bushra untuk melupakan Arham. Tanpa rasa sakit hati, Bushra sanggup move on dari Arham. Laki-laki yang sangat dicintainya kini hanya dianggapnya debu yang mudah sekali terbang kemudian menghilang. Dari awal, Bushra mencintai Arham karena Allah, dan Allah pula yang menanggalkan perasaan itu. Jika Arham mengecewakan orang yang paling dicintai Bushra, untuk apa lagi Bushra mempertahankannya?
“Percuma belajar tinggi-tinggi dan ikut pengajian dimana-mana kalau akhlak terhadap orangtua seperti ini”, Bushra meluapkan kekecewaannya. Sejak saat itu, Bushra kembali berhenti berhubungan dengan Arham yang sempat meminta maaf atas sikapnya.
Mungkin cinta masih belum berhenti menggoda Bushra, dua bulan kemudian, Burhan, kakak kelasnya di Pondok dulu menambah pertemanan di Blackberry Messenger Bushra. Tanpa basa-basi, setelah Bushra menerima pertemanan tersebut, Burhan menyatakan bahwa dirinya serius mencintai Bushra. Mungkin Burhan sudah lama mengintai sosial media Bushra karena dia adalah perempuan yang sangat aktif berdakwah melalui media sosial seperti Facebook dan Instagram. Kuliah sarjana di Kota Nabi, Madinah, dan hanya berbeda umur tiga tahun membuat Bushra segera meminta izin kepada Aba dan Umma untuk mendatangkannya. Mungkin terdengar tiba-tiba, namun untuk apalagi Bushra harus menunggu?
 “Kira-kira kapan Mas Burhan akan menikah?”, pertanyaan yang ditanyakan Bushra dijawab ragu oleh Burhan.
“Sebenarnya Ibuku mengizinkan setelah lulus S-2, tapi tenang saja, aku akan berusaha melobinya. In sha Allah dapat restu setelah S-1. Aku akan ke rumahmu liburan tahun ini”, jawaban Burhan merupakan suatu ketidakpastian. Bushra mulai bingung, dia hanya perlu menunggu satu tahun untuk lulus sarjana, sedangkan Burhan masih harus melewati waktu tiga tahun menuju kelulusan. Aba dan Umma sebenarnya sudah berharap cepat, Bushra sadari itu. Namun mungkinkah Bushra mampu untuk menunggu masa tiga tahun lagi?
Bushra memikirkan perjalanan cintanya yang belum berujung, ketika Burhan izin hadir dalam mimpinya, tiba-tiba Rafa pun terlintas dalam pikirannya. Rafa kini belajar dari kesalahan, dia tumbuh menjadi pemuda yang membanggakan. Agama, pekerjaan, dan studinya terlihat cemerlang. Lulus sarjana dengan predikat cumlaude kemudian melanjutkan  S-2 dengan beasiswa penuh membuat Bushra berpikir bahwa dirinya salah menilai Rafa. Bushra terlalu sombong dulu sehingga dia sempat memandang rendah Rafa yang menurutnya tidak sebanding dengan dirinya.
Bagaikan terbebani oleh sesuatu, Umma akhir-akhir ini sering terjatuh sakit sampai harus dirawat inap di Rumah Sakit. Setelah kondisi Umma membaik, Bushra menceritakan kebingungannya kepada Umma. Suara Umma terdengar ragu, sosok tua itu menarik napas panjang,
“Nak, coba kamu pikirkan lagi tentang Rafa. Sebenarnya, Rafa kini akan dilamar oleh seorang dokter”, Bushra terkejut. Ayah Rafa menanyakan keseriusan Bushra. Jika benar Bushra tidak mau lagi berhubungan dengan anak lelakinya, maka Rafa akan menerima pinangan dokter itu.
Bushra semakin kebingungan. Sejak menghubungi Umma via telepon, Bushra memanjangkan solat malamnya. Kini dia mendawamkan solat istikharah. Berharap cahaya Allah segera menerangi jalan Bushra. Seminggu kemudian, jawaban untuk Bushra hadir. Burhan yang pernah didoakannya dulu berlaku kurang sopan padanya. Sama seperti Arham dulu, panggilan kurang pantas akhirnya terdengar lagi. Dikarenakan tidak ingin mengecewakan Umma, akhirnya Bushra menempatkan Rafa kembali di hatinya. Dia tidak peduli apakah akan mencintai Rafa atau tidak, hal terpenting kali ini adalah membahagiakan Aba dan Umma. Bushra tidak sanggup lagi melihat Umma jatuh sakit karena memendam banyak rahasia. Bushra tersadar bahwa Umma enggan memaksa anak gadisnya untuk menikahi Rafa, namun keluarga Ibu Rima kerap meminta kepastian Bushra.
“Bolehkah aku menikah enam bulan lagi?”, Bushra meminta izin kepada Aba dan Umma. Kebahagiaan tersirat dari kedua wajahnya. Bushra benar-benar tidak peduli akan keterpaksaannya. Setelah mendapatkan restu dari kedua kakaknya, Bushra menentukan tanggal pernikahan.
Siapa yang tahu bahwa Rafa, sejak dua tahun lalu sudah berdoa dan berkata kepada Umma, “Bunda, jika saya bisa menikahi Bushra, saya ingin menikahinya di bulan Juni 2015”, dan itulah yang terjadi. Doa Rafa terkabul, Bushra sendiri yang menentukan tanggal pernikahannya tidak pernah tahu tentang recana Rafa. Juni 2015 adalah harapan Rafa menikah, sama halnya dengan perencanaan Bushra. Selain itu, Rafa dulu juga pernah meminta saran Umma untuk mendatangkan Ustadz tersohor di Indonesia untuk menjadi wali nikah, dan ternyata doanya pun diijabah lagi. Ustadz itu sendiri yang menentukan waktu pernikahan, setelah Subuh pintanya, agar malaikat-malaikat masih mengelilingi jamaah para pejuang subuh dan turut mendoakan. Ada hal lain juga yang membuat Bushra semakin yakin bahwa Rafalah jodohnya, Rafa menawarkan tempat pernikahan di daerah yang agak jauh dari rumah Bushra. Sebenarnya Umma kurang setuju, keduanya berusaha mencari tiga pilihan tempat lainnya, namun apa mau dikata, ketiga tempat tersebut sudah disewa sampai bulan Juni dan hanya menyisakan tempat pilihan Rafa. Mungkin itulah kekuatan si pemberi harapan pasti, doa Rafa mampu melembutkan keras kepala Bushra.
            Beginilah akhirnya, Bushra termakan ucapannya sendiri. Dirinya tidak mendapatkan laki-laki yang dicintainya yaitu Arham yang sampai saat ini tidak pernah menjelaskan mengapa dia seakan menolak Bushra. Justru kini dia mendapati cinta pemuda yang dulu dibencinya. Kelembutan Rafa terhadap surganya didunia membuat Bushra tersentuh. Seorang anak laki-laki yang sangat menyayangi ibunya in sha Allah juga akan menyayangi istrinya sepenuh hati.
Teringat kata-kata Umma “Kita sebagai perempuan, lebih baik dicintai daripada mencintai”. Kini Bushra bangkit dari jurang kesombongan dan mulai tersadar. Apa yang dilakukan Rafa di masa lalunya adalah miliknya, begitupun masa lalu Bushra adalah kepunyaan Bushra. Dia siap membahagiakan bukan hanya kedua orangtuanya, namun juga orangtua Rafa. Sekali lagi Bushra percaya bahwa cinta akan datang dari Allah, dia tidak pernah takut melangkah karena perbuatannya sekarang adalah sumber kebahagiaan bagi orang disekitarnya, terutama obat bagi sakit Umma dan jantung Ibu Rima, meskipun selalu saja ada pihak lain yang harus tersakiti, “Burhan, maafkan aku. Semoga Allah menganugerahi istri yang lebih baik dariku”, inilah harapan Bushra di malam sebelum akad pernikahannya. Memang benar kata Allah, boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, begitu pula sebaliknya.

0 comments:

Post a Comment