Tuesday 24 November 2015

Aku dan Negri Tetangga

Jalan hidup setiap makhluk berbeda, meskipun dicipta dari Tuhan yang sama.
Kisah ini bercerita tentang mereka yang tidak beruntung di dunia, namun mereka beruntung di satu tempat terindah, yang semua makhluk ingin berada di dalamnya. Di sisi Tuhan, ya, mereka beruntung disisi-Nya. Hidup bersama para pemuja syukur, tinggal selamanya dengan para pejuang sabar.

Malaysia, 2014.

Tahun ini, seorang gadis memulai perjalanan dakwahnya di suatu tempat bernama Mahallah Aminah. Sebuah asrama bertingkat empat milik kampus swasta negri ini telah menorehkan segala kenangan yang penuh pelajaran. Hari Jumat pagi, saya, si gadis itu, mulai berteman dengan sebuah kata bernama 'syukur'.


kumpulan kisah TKI



Dear, salah satu alasan saya mulai mencintai negri ini adalah karena mereka. Bukan mereka yang hanya digambar, tapi mereka bahkan yang tidak dan belum saya kenal. Tepatnya, orang Indonesia lain yang seperti mereka yang mengaku "Kami tidak mungkin disini non, kalau kami tidak punya masalah". Fine, everyone is always entangled with their problems.
1. Kisah ibu-ibu yang kusayang dari pengajian di Mahallah Aminah.
These are the pictures of them. Mereka berjumlah 7 orang yang notabenenya orang Indonesia tulen, kebanyakan mereka adalah orang Jember, Boyan, Sulawesi dan Madura, ah ya, Medan dan Padang juga ada. Rata-rata umur adalah sekitar 35-60 tahun. See? walau dimata kita mungkin dunia tidak adil memberikan kesempatan, tapi mereka berpikir tentang hal positif dan selalu. Mereka bersyukur, mereka tersenyum.
Mereka bekerja di kampus sebagai tukang bersih-bersih asrama, salah satu diantara mereka adalah:
1. Beliau berkaki pincang, kulit di kaki terlihat menjahit seisi jari-jari, membuatnya terlihat tidak memiliki jari-jari kaki. Dan tahukah apa pekerjaan beliau? Suatu Jum'at sebelum mengisi pengajian mereka, saya melihat beliau tergopoh jalan menuju ruang pengajian. Ditangan kanannya ada ember berisi parit, hanger dan sedikit tanah, sedangkan dikiri tangan, beliau memegang selang panjang. Lihat, beliau terima dan jalankan, bahkan beliau merelakan waktu istirahatnya untuk mengaji. Demi apa? pembaca pasti sudah lebih tahu.
Namanya bu Mas, asal Boyan atau Baweyan, Jawa Timur. Beliau adalah penanam kacang-kacangan disekitar tanah asrama, ketika sudah panen, beliau tidak perlu memberi saya. Suara beliau ketika mengaji, 100% akan membuat pendengar bersemangat menyimak, Allah... Sang Maha Pemberi suara merdu Bu Mas. Beliau satu-satunya Ibu ibu yang mampu mengaji Al-qur'an dengan tartil dan tajwid yang benar.
Ah ya, beliau ditakdirkan lahir sebagai anak yang  harus berusaha menghidupi ibu kandungnya di kampung. Sesekali beliau kesal tapi segera dihapus istighfar, beliau mengeluh mengapa ibunda tak kunjung sembuh. Ya, ibunya menderita sakit yang cukup parah, membakar habis uang hasil kerja Bu Mus.
 
2. Dua ibu diantara tujuh menangis siang itu ketika saya bertanya setelah memberi materi ringan.
Saya : Ibu-ibu, ada yang perlu ditanyakan? Atau ada yang ingin bercerita?
Mereka satu persatu bercerita. Tentang kisah mereka, jalan hidup mereka.
Dua ibu :
A: Saya ikhlas menjadi istri yang dimadu, suami saya tidak pulang-pulang, nafkah lahir batin pun tak ada. Saya yakin Allah akan adil, tapi Non, bagaimana saya harus bertindak sebagai istri? Siang malam saya berdoa untuk suami saya yang sudah haji itu, tapi kebiasaan menjudinya tak kunjung sembuh.
B : Saya juga seperti kisah Ibu A, Non. Bedanya saya lebih lagi, suami saya KDRT.
Saya : !@#$#@!@#$%##@!@#$
Ibu A&B : Sudah, Non. Kami sudah melakukannya. Tapi tetap saja tidak ada hasil.
Saya : Baik, biar ini menjadi PR untuk saya, In sha Allah minggu depan, kita berjumpa lagi disini.
3.  Izinkan saya menuliskannya melalui kisah. 
 
Bismillah, 
Jalanmu ditunjukanNya menghadap harap, tidak perlu menghardik skenario, coba resapi, mulai cintai.

Siang dikampusku bermesra dengan mentari, sama panasnya dengan jemari yang sedari tadi mengukir pesan di aplikasi handphone berbentuk hijau bulat itu. Tidak peduli dengan rentetan pesan dari grup A sampai Z, aku hanya menanggapi pesan dari seseorang yang tidak dikenal.

“Assalamualaikum ukhti, saya Yusuf, kawan Ustadz Arif, guru ukhti. Apa benar anti tinggal di Malaysia?”, sambil berpikir tentang Subagyo, aku menjawab “betul akh, saya sekolah disini, ada yang bisa saya bantu?”. Dijawabnya damai seolah aku bisa mendengar deru nafas lega “Alhamdulillah, baik, saya butuh bantuan ukhti”.

Cahaya matahari sisa kala itu mulai bergandeng dengan angin sore, melebur segar bak pagi hari yang membawa semangat baru. Dan ternyata, Allah menitipkan kabar petang ini ke dunia untuk mengantarkanku pada sebuah pengalaman mahal. Niat menjadi agenNya kini terbuka gerbangnya, masih tanpa pintu.

“Halo Rim, betul alamatnya disini? Apakah saya aman kesana sekarang?”, setelah berkenalan singkat, aku berniat menemuinya.

Suara diarah seberang berbisik seperti ketakutan “Iya kak, boleh, nanti ya jam 3. Soalnya sekarang masih ada Bu Rianti”.

Dua pasang kaki menuju ke arah bangunan tinggi berlantai 16, di kiri kanan jalan terlihat beberapa orang yang sepertinya berasal dari Afrika, Thailand atau negara-negara ASEAN lainnya. Pukul 3, kami bertemu untuk pertama kalinya. Kenalkan, gadis ini bernama Erima.

“Aku dijual kak. Aku udah lepas kerudungku, bungaku sudah diambil.”

Erima adalah korban human trafficking akibat tetangganya. Bu Rianti, sang penjual, adalah wanita paruh baya bercadar dan dikenal sebagai ustadzah di Johor. Dulu, Bu Rianti bersahabat dengan Ibunda Erima. Setelah Erima lulus SMP, Bu Rianti datang bersilaturahim sambil menawarkan peluang keberuntungan di negeri tetangga. Pilihan untuknya adalah menjadi pembantu rumah tangga di Johor yang kemudian, setelah 2 bulan, Erima tidak betah dan kembali ke rumah Bu Rianti di Kepong. Naasnya, Erima harus membayar sewa kamar padahal dia tidak bergaji dan kamarnya harus ditinggali bertiga bersama anak-anak Bu Rianti.

Erima, si gadis berumur 16 tahun, dibeli oleh seorang Bangladesh bernama Morten. Hidup di biayai sepenuhnya dan harus menuruti apa yang diperintah Morten. Tanpa paspor, tidur bukan lagi tenang seakan oksigen untuknya hampir habis dihirup pedzalim rakus. Sampai akhirnya, dia tidak bisa bertahan dan memintaku bertindak.

“Saya hanya mahasiswa biasa tanpa kuasa, biar saya ajukan kasus ini ke KBRI” sahutku menanggapi permohonan Erima.

Singkat cerita, Erima diantar Morten ke KBRI. Shelter yang dianggapnya sebagai penjara menjadi alasan buntu untuk tinggal. Namun dia ternyata menolak, dia lebih memilih tinggal bersama Morten dan kawan-kawannya.

Disisi lain, sepasang Ayah dan Ibu menangis di negeri sebrang, mereka meneleponku bahkan mengirimi uang. Padahal pekerjaan keduanya hanya petani dan penjual gorengan di pinggiran jalan. Berkali aku menolak, tapi kakaknya yang sedang bekerja di Mekkah memohon agar aku menerima uang tersebut, demi membantu Erima pulang ke kampung halaman. Tidak berhenti disini, aku meminta perwakilan kedutaan Indonesia untuk mendatangi rumahnya. Dan Erima, setelah menceritakan semua kejadian ke perwakilan KBRI, seakan melarikan diri ketika pihak KBRI hendak mendatangi rumahnya di Kepong. Baik, aku harus lebih bersabar. Posisi diantara harapan orang tua yang ingin anaknya segera pulang dan seorang anak yang bimbang menjadikan hari-hariku dipenuhi deringan telepon.

“Mbak Disa, tolong Ibu ya. Ibu nggak bisa tidur ki. Mambengi Rima telepon katanya Morten jahat lho, Mbak.”, suara parau ditengah subuh melambungkan bayang lukisan pena di langitan merah, membentuk wajah penuh kerutan. Aku berusaha menenangkan Ibundanya Erima, memastikan bahwa keluarga di Tegal sehat dan tetap kuatkan doa berharap rahmat. Padahal nyatanya, Erima sama sekali tidak berteman dengan situasi, dia ingin pulang ke Indonesia, tapi masih dan terlanjur mencintai Marten. Lha njok piye?

Belia ini sangat sulit diajak diskusi, tidakkah dia merasakan kekhawatiran Ibunya?. Satu bulan pergi tanpa kabar, aku tidak berhasil membujuknya pulang. Dia sudah dapat kerja, dicarikan Morten, katanya. O-ow, ternyata Morten juga tidak mau kekasihnya pulang. Posisi terbaru, aku berada diantara cinta mereka, berusaha memisahkan dengan baik tanpa niat menyakiti hati keduanya.

Seminggu berjalan, Erima selalu menelepon, berkisah tentang kegalauannya. Pagi bilang katanya Marten baik, dan malam mengatai Marten yang jadinya jahat. Apalah aku disini hanya menjadi pendengar, berusaha menyisipkan nasehat tentang Ibu, tentang jilbabnya yang dilepas karena sudah tidak perawan lagi, dan tentang banyak hal. Minggu kedua, Erima membuat saya tersenyum, dia bilang dia akan pulang lebaran ini. Menantiku hari itu, ternyata Marten menjadi penyebab Erima urung pulang. “Bukan lebaran Idul Fitri, tapi lebaran Idul Adha saja, aku masih ingin cari duit, Kak”, kata Erima.

Kakak Erima di Mekkah berkali-kali menghubungi via telepon, aku meminta maaf karena belum bisa membujuk adik bungsunya pulang. Dia berharap Erima bisa pulang dan melihat pernikahan Kakaknya di kampung, setelah Idul Fitri. Namun sepertinya Erima belum bisa pulang kecuali setelah Idul Adha.

Tiga bulan lebih kisah ini belum berakhir, akhirnya Aisyah pulang menggunakan kapal ferry. Setelah membayar RM 4000, dia berhasil ke Johor bersama teman-teman Indonesia lain yang juga pulang ke tanah air. “Kalau sudah sampai Indo, usahakan kabarin Kakak ya, Erima”, aku sempat meneleponnya dan dijawab ceria berartikan “iya”.

Dua hari tanpa kabar, Kakak Erima mengirim pesan “Mbak, buka dedetik.com dan ketik di search nya “Kapal yang berisikan imigran gelap Indonesia tenggelam di perairan Johor”, Erima tenggelam, Mbak”. Sontak aku kaget, duka Erima dan keluarga benar-benar belum berakhir. Imigran gelap? Tenggelam? Itu duit RM 4000 dibuat apa sama agennya? Jangan-jangan?

Tidak lama kumelihat handphone yang sengaja ku-setting mute, layarnya bertuliskan “7 Missed call, Morten”.
 
“Kak Disha, sudah tau ke belum? Rima ditangkap polis Johor sekarang, saya pening la ni tak tau nak buat apa. Saya tak nak makan, tak nak mandi, tak nak buat ape-ape. Saya just nak jumpa Erima”. Adu Morten berputus asa. Aku tidak bisa berbuat banyak untuknya, yang harus kulakukan sekarang hanya mencari informasi. Dimanakah Erima? Bagaimana aku membantunya?

Morten, bagaikan obat bahkan melebihi takarannya, selalu meneleponku lebih dari tiga kali sehari. Dia mengabarkan bahwa Erima di Kota Tinggi Johor dalam keadaan sehat namun tanpa harta apapun karena semua sudah tenggelam. Dia sekarang berada di penjara.

Aku segera menghubungi perwakilan Indonesia di Johor. Mereka menjelaskan proses hukum dan kepulangan setiap Tenaga Kerja Indonesia yang berstatus ilegal. Usut punya usut, kisah kezaliman berulang, agen yang mengurusi Erima kabur membawa uang dan paspor puluhan TKI termasuk milik Erima. Ibunda disana tak henti memohon agar Erima segera pulang, namun lagi lagi aku hanya meminta maaf. “Kami sedang berusaha, mohon didoakan terus ya Ibu”. Kata-kata itu yang sekian kali terulang yang kuharap Ibunda Erima tidak bosan mendengarnya. Morten memintaku ikut ke Johor, namun aku menolak. Setelah dimarahi habis-habisan oleh Ibuku karena dipikirnya aku sudah ikut campur terlalu jauh, akhirnya aku hanya bisa meminta maaf lagi.

Morten selalu mengantarkan pakaian dan makanan untuk Erima. Tulus sekali memang, entah berapa ribu ringgit dikeluarkannya untuk membahagiakan Erima. Kabar angin berhembus, Erima akan dikeluarkan dari penjara akhir bulan ini. Kutunggu waktu itu, ternyata nihil. Erima belum keluar dan dijadwalkan bulan depan, katanya. Tanpa handphone ditangannya, aku hanya bisa menunggu kabar dari Morten sambil memohon doa dari keluarga Erima di Tegal.

Sebulan berlalu, Erima akhirnya dipulangkan. Segala puji bagiMu ya Allah yang telah menanamkan kesabaran di hati-hati para penunggu. Aku segera mengabarkan keluarga Erima dan suara Ibundanya di telepon berbalas bahagia.

Dua hari setelah kepulangan, Morten menangis. Dia mengadukan bahwa Erima sudah punya kekasih baru, seperti yang dilihatnya di Facebook kala itu. Sehari setelahnya, Erima mengirim pesan bahwa dia sangat berterima kasih dan bercerita tentang perjodohan orangtuanya. Aku hanya menghela napas ketika Erima menyebut Morten jahat setelah berjuta kebaikan diberikan untuknya. “Rima, perbaiki hubunganmu dengan Morten, dia tulus mencintaimu. Kemudian, tinggalkan masa lalumu setelah pergi dan indahkan masa depanmu di negrimu sendiri, bukan disini”.

Sketsa perjalanan ini kusimpan rapi di album memori. Suatu hari pasti akan kubuka kembali jika rasa lelah tak henti bergulat dengan hidup. Nikmat mana lagi yang aku dustakan, Duhai Tuhan yang tanpa-Nya aku bukan apa?

Ini kisahku di negri tetangga, ucapku syukur karena Allah memberiku jutaan senyum tanpa tangis. Tersempil pertanyaan mengharap hikmah “Kuatkah aku jika menjadi Erima?” Mungkin, diri ini tidak sekuatnya. 
 
 
 

0 comments:

Post a Comment