Keep on shalawat

Do you wish to see Rasulullah on your dream? Keep on shalawat then start to follow his sunnah on your daily life. May Allah make it really true someday. Aameen.

get its direct bonuses

Increase your shalawat upon Rasulullah sallallahu alaihi wasallam so Allah and His angels will make it multiplied for you.

Allahumma ihdina assiratal mustaqeem ya allah

Traveling on through the hills and valleys of my life. On this journey. This is pathless pathway. Never knowing when the end will come> live this life like a wayfarer journey, like the stranger on his way back home.

Read the quran, the only book where the author is in love with the reader

If you find dust on your quran, then cry for yourself and the condition that you are in.

convey from me even one single word

The first step in knowledge is to listen, then to be quiet and attentive, then to preserve it, then to put it into practice and then to spread it -Sufyan ibn Uyainah.

Monday 8 May 2017

Masihkah Muslim Dianggap Anti NKRI?



“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri."
Ir. Soekarno

Persatuan bangsa di negeri ini sedang diporakporandakan dengan berbagai isu sara. Umat muslim dituduh anti NKRI, anti persatuan dan memerangi Pancasila. Bahkan baru-baru ini,  perkara satu orang saja mampu mengubah mindset kelompok besar suatu bangsa, Basuki Tjahya Purnama, namanya selalu disebut-sebut bagai artis papan atas yang tidak pernah bosan tertangkap kamera.
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedu¬dukanmu.” (Q.S. Muhammad: 7)
Umat Islam sebagai mayoritas di Indonesia bergerak melawan keputusan hakim yang dirasa tidak adil tentang ulah penistaan agama. Para ulama dan organisasi masyarakat muslim mulai menebar dakwah tentang pembelaan Al-qur’an dan ulama yang dinistakan. Membela Al-qur’an sama saja dengan membela agama Allah, seruan muslim pada gerakan 411 di Monumen Nasional, Jakarta.

Belum puas dengan respon pemerintah, gerakan spirit 212 terbentuk dan mulai melebarkan sayap dakwahnya dengan gerakan subuh berjamaah atau disingkat GNPF MUI. Seorang pemimpin Yahudi berkata, Yahudi tidak akan takut kepada umat Islam kecuali bila keadaan umat Islam sampai pada taraf jumlah jamaah subuh telah melebihi jamaah Shalat Jumat. 

Ustadz Bachtiar Nashir dalam ceramah subuh di Masjid Alhidayah, Bogor bercerita tentang sejarah berdirinya NKRI yang justru disebabkan oleh Muslim. KH Nur Ali dari bekasi mengajukan kepada Perdana Menteri pertama Indonesia, Muhammad Natsir agar Republik Indonesia Serikat diubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akhirnya disetujui oleh Bapak Proklamator, Ir. Soekarno.
Kesultanan Riau dicekal keturunannya karena tidak menyisakan warisan harta. Seluruh harta Sultan diberikan kepada negeri terutama pesawat terbang yang pertama kali digunakan Ir. Soekarno untuk melancarkan kejayaan bangsa.
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Maka damaikanlah diantara dua saudara kalian (yang bermusuhan)". Namun, saat ini, mereka (orang-orang mukmin) justru saling bermusuhan, tidak mau mendamaikan (yang bermusuhan), dan merusak persaudaraan diantara mereka.
Dan sesungguhnya tidaklah sempurna iman seseorang, sampai ia mencintai bagi saudaranya dengan apa yang ia cintai untuk dirinya, kata Baginda Rasulullah SAW. Coba renungkanlah, betapa indahnya tatanan masyarakat jika mengamalkan hadits ini, Marilah kita saling mencintai satu sama lain, saling menolong, mengingatkan, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, dengan penuh kecintaan, kasih-sayang, rahmat dan kelembutan, in sha Allah segala perbedaan bukan menjadi penghalang keharmonisan.
Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk sebagai orang-orang yang selalu berpegang teguh di atas kebenaran, mewafatkan kita di atasnya dan Sunnah RasulNya dengan tidak melakukan bid’ah, penyelewengan, kerusakan dan kehinaan.


Sunday 7 May 2017

Bunga Akhir Zaman







“Aku tidak meninggalkan satu fitnah pun yang lebih membahayakan para lelaki selain fitnah wanita.” 
(HR. Bukhari: 5096 dan  Muslim: 2740)

Wanita, dikatakan sebagai fitnah ketika membawa kepada hal yang menjauhkan seseorang khususnya laki-laki dari surganya. Tercipta dengan sejuta keindahan dan paras yang menawan tapi terkadang menjadi sumbu kebinasaan.
Namun sebaliknya, wanita disebut pula sebagai perhiasan terindah dunia.  Meski hidup tanpa mengumbar pesona, wanita berdamai dengan kekhusyukan. Mereka paham tentang hari kemudian yang tidak membedakan kecantikan tapi justru ketakwaan. Menjadi bunga akhir zaman adalah puncak segala tujuan.
Penghias yang bukan sekedar penghias fisik, melainkan penghias yang menyebarkan keharuman di seluruh alam raya ini, keharuman dari nama terindah karena baiknya akhlak yang di miliki. 
Ingatkah kisah tentang Zulaikha yang menggoda Nabi Yusuf AS? Siapa yang tidak terpana dengan kecantikannya? Tanpa ragu dia merobek pakaian Nabi Yusuf AS dari belakang untuk memuaskan hawa nafsunya. Namun, kebodohannya dibalas dengan cahaya keimanan Nabi Yusuf AS. Adakah sosok yang menjaga pandangan dan hawa nafsunya seperti Nabi Yusuf AS di zaman ini?
Melihat kepada perkara-perkara yang haram dilihat, sering memandang perempuan, membaca majalah porno, melihat gambar-gambar yang membuka aurat, menonton film cabul, menonton TV atau sinetron yang beradegan syur dan bercampur baur dengan lain jenis di zaman sekarang sudah susah untuk dicegah. Bagaimana tidak, orang-orang Barat menghancurkan mata dan hati para penggila gadget agar menjauhkannya dari ibadah, istilah manusia hidup bersosial digadang-gadangkan tanpa batasan. Mereka tidak mampu mengalahkan kaum muslim yang berjumlah banyak lewat perang seperti zaman Rasul, namun dengan mudah meluluhlantahkan akhlak muslim dengan teknologi, itulah yang dinamakan Ghozwul Fikri.
Oleh karena itu, jadilah wanita yang seindah bunga akhir zaman, secantik permata berlian, seanggun bidadari surga. Belajarlah ilmu agama untuk bekal hidupmu di dunia dan akhirat. Jadilah wanita yang solihah untuk pribadi dan keluargamu.
Jangan berharap pujian dari yang tidak halal melihatmu apalagi menatapmu, ingatlah bahwa satu kecantikan yang dilihat penuh syhawat akan menimbulkan satu dosa untukmu. Kecantikmu adalah Milik Tuhanmu, suatu saat akan hilang tanpa kembali. Dan saatnya nanti dipertemukan, engkau pun akan ditanya, untuk apa kecantikanmu dipergunakan?

Masih mau mengumbar foto selfiemu di social media dengan niat mencari perhatian orang yang tidal halal agar melihatmu? Berarti kamu bukan bunga akhir zaman yang dicari tuhan. 



Saturday 6 May 2017

Sebelum Kafan Menyelimutimu

Banyak kita jumpai saat ini perempuan memakai busana yang dikatakan syari bermula dari trend hijab yang menjamur sekitar tahun 2009. Demam film Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih seakan menjadi pelopor dakwah hijab. Jangankan toko-toko offline, toko online pun bermunculan memenuhi home beberapa media sosial. Berbagai macam pakaian dan kerudung sangat mudah dijumpai, para designer seperti tidak pernah kehabisan model. Perlahan virus berjilbab menyebar ke setiap kalangan,  baik itu orang tua, muda, kaya atau miskin, semua berlomba untuk bergaya.
Mengapa dikatakan bergaya? Menutup aurat pada era sekarang sudah tidak ketinggalan zaman. Memakai kerudung tidak lagi dianggap kolot dan terbelakang. Banyak sekali gaya berhijab yang mewakili gaya seorang perempuan, sudah sesuai syariatkah atau hanya mengikuti mode kekinian?
Viralnya jilboobs yang memakai kerudung namun terlihat seksi, kemudian ada lagi istilah jilbaber yang naik setingkat diatas jilboobs justru membuat malu agama Islam. Dalam firmanNya, Allah berkata:
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Q.S Al-Ahzab:59)
Dan ada juga hadits yang memerintahkan untuk menutup aurat atau jika tidak mereka akan digantung rambutnya hingga otaknya mendidih di neraka.
“Wahai anakku Fatimah! Adapun perempuan-perempuan yang akan digantung rambutnya hingga mendidih otaknya dalam neraka adalah mereka itu di dunia tidak mau menutup rambutnya daripada dilihat oleh lelaki yang bukan mahramnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Pernah dengar hijab, khimar atau jilbab? Tahu bedanya?
1. Khimar adalah kerudung yang menutup bagian kepala hingga dada wanita.
2. Hijab adalah segala hal yang menutupi hal-hal yang dituntut untuk ditutupi bagi seorang Muslimah. Jadi hijab muslimah bukan sebatas yang menutupi kepala, atau menutupi rambut, atau menutupi tubuh bagian atas saja. Namun hijab muslimah mencakup semua yang menutupi aurat, lekuk tubuh dan perhiasan wanita dari ujung rambut sampai kaki.
3. Jilbab (diantara maknanya) adalah gamis. Dan jilbab itu adalah pakaian yang lebih lebar dari khimar. Yang dipakai oleh wanita untuk menutupi kepala dan dadanya menurut Lisaanul Arab.
Coba cek diri kita dan sekitar kita, sudahkah kita menutup aurat yang sesuai dengan perintah Allah?

Checklistnya  sebagai berikut:

(1) Menutupi seluruh tubuh kecuali yang tidak wajib ditutupi (wajah dan kedua telapak tangan)
(2) Tidak berfungsi sebagai perhiasan 
(3) Kainnya tebal, tidak tipis 
(4) Lebar tidak ketat sehingga menampakkan bentuk tubuh 
(5) Tidak diberi pewangi atau parfum 
(6) Tidak menyerupai pakaian lelaki 
(7) Tidak menyerupai pakaian wanita kafir 
(8) Bukan merupakan libas syuhrah (pakaian yang menarik perhatian orang-orang)
Bagaimana sekarang? Sudah sesuai kan? Jika belum, kali ini masih ada waktu. Tutuplah auratmu sekarang sebelum auratmu ditutupkan, behijablah kamu sekarang sebelum kamu dihijabkan. Betulkan cara berhijab yang mungkin salah sebelum kafan menyelimutimu. Maksudnya tutup aurat kita sekarang sebelum ajal menjemput dan tidak ada waktu tobat yang kita miliki untuk menebus dosa kita selama ini termasuk memamerkan aurat atau tidak menutupinya sesuai syariat.




Tuesday 24 November 2015

Aku dan Negri Tetangga

Jalan hidup setiap makhluk berbeda, meskipun dicipta dari Tuhan yang sama.
Kisah ini bercerita tentang mereka yang tidak beruntung di dunia, namun mereka beruntung di satu tempat terindah, yang semua makhluk ingin berada di dalamnya. Di sisi Tuhan, ya, mereka beruntung disisi-Nya. Hidup bersama para pemuja syukur, tinggal selamanya dengan para pejuang sabar.

Malaysia, 2014.

Tahun ini, seorang gadis memulai perjalanan dakwahnya di suatu tempat bernama Mahallah Aminah. Sebuah asrama bertingkat empat milik kampus swasta negri ini telah menorehkan segala kenangan yang penuh pelajaran. Hari Jumat pagi, saya, si gadis itu, mulai berteman dengan sebuah kata bernama 'syukur'.


kumpulan kisah TKI



Dear, salah satu alasan saya mulai mencintai negri ini adalah karena mereka. Bukan mereka yang hanya digambar, tapi mereka bahkan yang tidak dan belum saya kenal. Tepatnya, orang Indonesia lain yang seperti mereka yang mengaku "Kami tidak mungkin disini non, kalau kami tidak punya masalah". Fine, everyone is always entangled with their problems.
1. Kisah ibu-ibu yang kusayang dari pengajian di Mahallah Aminah.
These are the pictures of them. Mereka berjumlah 7 orang yang notabenenya orang Indonesia tulen, kebanyakan mereka adalah orang Jember, Boyan, Sulawesi dan Madura, ah ya, Medan dan Padang juga ada. Rata-rata umur adalah sekitar 35-60 tahun. See? walau dimata kita mungkin dunia tidak adil memberikan kesempatan, tapi mereka berpikir tentang hal positif dan selalu. Mereka bersyukur, mereka tersenyum.
Mereka bekerja di kampus sebagai tukang bersih-bersih asrama, salah satu diantara mereka adalah:
1. Beliau berkaki pincang, kulit di kaki terlihat menjahit seisi jari-jari, membuatnya terlihat tidak memiliki jari-jari kaki. Dan tahukah apa pekerjaan beliau? Suatu Jum'at sebelum mengisi pengajian mereka, saya melihat beliau tergopoh jalan menuju ruang pengajian. Ditangan kanannya ada ember berisi parit, hanger dan sedikit tanah, sedangkan dikiri tangan, beliau memegang selang panjang. Lihat, beliau terima dan jalankan, bahkan beliau merelakan waktu istirahatnya untuk mengaji. Demi apa? pembaca pasti sudah lebih tahu.
Namanya bu Mas, asal Boyan atau Baweyan, Jawa Timur. Beliau adalah penanam kacang-kacangan disekitar tanah asrama, ketika sudah panen, beliau tidak perlu memberi saya. Suara beliau ketika mengaji, 100% akan membuat pendengar bersemangat menyimak, Allah... Sang Maha Pemberi suara merdu Bu Mas. Beliau satu-satunya Ibu ibu yang mampu mengaji Al-qur'an dengan tartil dan tajwid yang benar.
Ah ya, beliau ditakdirkan lahir sebagai anak yang  harus berusaha menghidupi ibu kandungnya di kampung. Sesekali beliau kesal tapi segera dihapus istighfar, beliau mengeluh mengapa ibunda tak kunjung sembuh. Ya, ibunya menderita sakit yang cukup parah, membakar habis uang hasil kerja Bu Mus.
 
2. Dua ibu diantara tujuh menangis siang itu ketika saya bertanya setelah memberi materi ringan.
Saya : Ibu-ibu, ada yang perlu ditanyakan? Atau ada yang ingin bercerita?
Mereka satu persatu bercerita. Tentang kisah mereka, jalan hidup mereka.
Dua ibu :
A: Saya ikhlas menjadi istri yang dimadu, suami saya tidak pulang-pulang, nafkah lahir batin pun tak ada. Saya yakin Allah akan adil, tapi Non, bagaimana saya harus bertindak sebagai istri? Siang malam saya berdoa untuk suami saya yang sudah haji itu, tapi kebiasaan menjudinya tak kunjung sembuh.
B : Saya juga seperti kisah Ibu A, Non. Bedanya saya lebih lagi, suami saya KDRT.
Saya : !@#$#@!@#$%##@!@#$
Ibu A&B : Sudah, Non. Kami sudah melakukannya. Tapi tetap saja tidak ada hasil.
Saya : Baik, biar ini menjadi PR untuk saya, In sha Allah minggu depan, kita berjumpa lagi disini.
3.  Izinkan saya menuliskannya melalui kisah. 
 
Bismillah, 
Jalanmu ditunjukanNya menghadap harap, tidak perlu menghardik skenario, coba resapi, mulai cintai.

Siang dikampusku bermesra dengan mentari, sama panasnya dengan jemari yang sedari tadi mengukir pesan di aplikasi handphone berbentuk hijau bulat itu. Tidak peduli dengan rentetan pesan dari grup A sampai Z, aku hanya menanggapi pesan dari seseorang yang tidak dikenal.

“Assalamualaikum ukhti, saya Yusuf, kawan Ustadz Arif, guru ukhti. Apa benar anti tinggal di Malaysia?”, sambil berpikir tentang Subagyo, aku menjawab “betul akh, saya sekolah disini, ada yang bisa saya bantu?”. Dijawabnya damai seolah aku bisa mendengar deru nafas lega “Alhamdulillah, baik, saya butuh bantuan ukhti”.

Cahaya matahari sisa kala itu mulai bergandeng dengan angin sore, melebur segar bak pagi hari yang membawa semangat baru. Dan ternyata, Allah menitipkan kabar petang ini ke dunia untuk mengantarkanku pada sebuah pengalaman mahal. Niat menjadi agenNya kini terbuka gerbangnya, masih tanpa pintu.

“Halo Rim, betul alamatnya disini? Apakah saya aman kesana sekarang?”, setelah berkenalan singkat, aku berniat menemuinya.

Suara diarah seberang berbisik seperti ketakutan “Iya kak, boleh, nanti ya jam 3. Soalnya sekarang masih ada Bu Rianti”.

Dua pasang kaki menuju ke arah bangunan tinggi berlantai 16, di kiri kanan jalan terlihat beberapa orang yang sepertinya berasal dari Afrika, Thailand atau negara-negara ASEAN lainnya. Pukul 3, kami bertemu untuk pertama kalinya. Kenalkan, gadis ini bernama Erima.

“Aku dijual kak. Aku udah lepas kerudungku, bungaku sudah diambil.”

Erima adalah korban human trafficking akibat tetangganya. Bu Rianti, sang penjual, adalah wanita paruh baya bercadar dan dikenal sebagai ustadzah di Johor. Dulu, Bu Rianti bersahabat dengan Ibunda Erima. Setelah Erima lulus SMP, Bu Rianti datang bersilaturahim sambil menawarkan peluang keberuntungan di negeri tetangga. Pilihan untuknya adalah menjadi pembantu rumah tangga di Johor yang kemudian, setelah 2 bulan, Erima tidak betah dan kembali ke rumah Bu Rianti di Kepong. Naasnya, Erima harus membayar sewa kamar padahal dia tidak bergaji dan kamarnya harus ditinggali bertiga bersama anak-anak Bu Rianti.

Erima, si gadis berumur 16 tahun, dibeli oleh seorang Bangladesh bernama Morten. Hidup di biayai sepenuhnya dan harus menuruti apa yang diperintah Morten. Tanpa paspor, tidur bukan lagi tenang seakan oksigen untuknya hampir habis dihirup pedzalim rakus. Sampai akhirnya, dia tidak bisa bertahan dan memintaku bertindak.

“Saya hanya mahasiswa biasa tanpa kuasa, biar saya ajukan kasus ini ke KBRI” sahutku menanggapi permohonan Erima.

Singkat cerita, Erima diantar Morten ke KBRI. Shelter yang dianggapnya sebagai penjara menjadi alasan buntu untuk tinggal. Namun dia ternyata menolak, dia lebih memilih tinggal bersama Morten dan kawan-kawannya.

Disisi lain, sepasang Ayah dan Ibu menangis di negeri sebrang, mereka meneleponku bahkan mengirimi uang. Padahal pekerjaan keduanya hanya petani dan penjual gorengan di pinggiran jalan. Berkali aku menolak, tapi kakaknya yang sedang bekerja di Mekkah memohon agar aku menerima uang tersebut, demi membantu Erima pulang ke kampung halaman. Tidak berhenti disini, aku meminta perwakilan kedutaan Indonesia untuk mendatangi rumahnya. Dan Erima, setelah menceritakan semua kejadian ke perwakilan KBRI, seakan melarikan diri ketika pihak KBRI hendak mendatangi rumahnya di Kepong. Baik, aku harus lebih bersabar. Posisi diantara harapan orang tua yang ingin anaknya segera pulang dan seorang anak yang bimbang menjadikan hari-hariku dipenuhi deringan telepon.

“Mbak Disa, tolong Ibu ya. Ibu nggak bisa tidur ki. Mambengi Rima telepon katanya Morten jahat lho, Mbak.”, suara parau ditengah subuh melambungkan bayang lukisan pena di langitan merah, membentuk wajah penuh kerutan. Aku berusaha menenangkan Ibundanya Erima, memastikan bahwa keluarga di Tegal sehat dan tetap kuatkan doa berharap rahmat. Padahal nyatanya, Erima sama sekali tidak berteman dengan situasi, dia ingin pulang ke Indonesia, tapi masih dan terlanjur mencintai Marten. Lha njok piye?

Belia ini sangat sulit diajak diskusi, tidakkah dia merasakan kekhawatiran Ibunya?. Satu bulan pergi tanpa kabar, aku tidak berhasil membujuknya pulang. Dia sudah dapat kerja, dicarikan Morten, katanya. O-ow, ternyata Morten juga tidak mau kekasihnya pulang. Posisi terbaru, aku berada diantara cinta mereka, berusaha memisahkan dengan baik tanpa niat menyakiti hati keduanya.

Seminggu berjalan, Erima selalu menelepon, berkisah tentang kegalauannya. Pagi bilang katanya Marten baik, dan malam mengatai Marten yang jadinya jahat. Apalah aku disini hanya menjadi pendengar, berusaha menyisipkan nasehat tentang Ibu, tentang jilbabnya yang dilepas karena sudah tidak perawan lagi, dan tentang banyak hal. Minggu kedua, Erima membuat saya tersenyum, dia bilang dia akan pulang lebaran ini. Menantiku hari itu, ternyata Marten menjadi penyebab Erima urung pulang. “Bukan lebaran Idul Fitri, tapi lebaran Idul Adha saja, aku masih ingin cari duit, Kak”, kata Erima.

Kakak Erima di Mekkah berkali-kali menghubungi via telepon, aku meminta maaf karena belum bisa membujuk adik bungsunya pulang. Dia berharap Erima bisa pulang dan melihat pernikahan Kakaknya di kampung, setelah Idul Fitri. Namun sepertinya Erima belum bisa pulang kecuali setelah Idul Adha.

Tiga bulan lebih kisah ini belum berakhir, akhirnya Aisyah pulang menggunakan kapal ferry. Setelah membayar RM 4000, dia berhasil ke Johor bersama teman-teman Indonesia lain yang juga pulang ke tanah air. “Kalau sudah sampai Indo, usahakan kabarin Kakak ya, Erima”, aku sempat meneleponnya dan dijawab ceria berartikan “iya”.

Dua hari tanpa kabar, Kakak Erima mengirim pesan “Mbak, buka dedetik.com dan ketik di search nya “Kapal yang berisikan imigran gelap Indonesia tenggelam di perairan Johor”, Erima tenggelam, Mbak”. Sontak aku kaget, duka Erima dan keluarga benar-benar belum berakhir. Imigran gelap? Tenggelam? Itu duit RM 4000 dibuat apa sama agennya? Jangan-jangan?

Tidak lama kumelihat handphone yang sengaja ku-setting mute, layarnya bertuliskan “7 Missed call, Morten”.
 
“Kak Disha, sudah tau ke belum? Rima ditangkap polis Johor sekarang, saya pening la ni tak tau nak buat apa. Saya tak nak makan, tak nak mandi, tak nak buat ape-ape. Saya just nak jumpa Erima”. Adu Morten berputus asa. Aku tidak bisa berbuat banyak untuknya, yang harus kulakukan sekarang hanya mencari informasi. Dimanakah Erima? Bagaimana aku membantunya?

Morten, bagaikan obat bahkan melebihi takarannya, selalu meneleponku lebih dari tiga kali sehari. Dia mengabarkan bahwa Erima di Kota Tinggi Johor dalam keadaan sehat namun tanpa harta apapun karena semua sudah tenggelam. Dia sekarang berada di penjara.

Aku segera menghubungi perwakilan Indonesia di Johor. Mereka menjelaskan proses hukum dan kepulangan setiap Tenaga Kerja Indonesia yang berstatus ilegal. Usut punya usut, kisah kezaliman berulang, agen yang mengurusi Erima kabur membawa uang dan paspor puluhan TKI termasuk milik Erima. Ibunda disana tak henti memohon agar Erima segera pulang, namun lagi lagi aku hanya meminta maaf. “Kami sedang berusaha, mohon didoakan terus ya Ibu”. Kata-kata itu yang sekian kali terulang yang kuharap Ibunda Erima tidak bosan mendengarnya. Morten memintaku ikut ke Johor, namun aku menolak. Setelah dimarahi habis-habisan oleh Ibuku karena dipikirnya aku sudah ikut campur terlalu jauh, akhirnya aku hanya bisa meminta maaf lagi.

Morten selalu mengantarkan pakaian dan makanan untuk Erima. Tulus sekali memang, entah berapa ribu ringgit dikeluarkannya untuk membahagiakan Erima. Kabar angin berhembus, Erima akan dikeluarkan dari penjara akhir bulan ini. Kutunggu waktu itu, ternyata nihil. Erima belum keluar dan dijadwalkan bulan depan, katanya. Tanpa handphone ditangannya, aku hanya bisa menunggu kabar dari Morten sambil memohon doa dari keluarga Erima di Tegal.

Sebulan berlalu, Erima akhirnya dipulangkan. Segala puji bagiMu ya Allah yang telah menanamkan kesabaran di hati-hati para penunggu. Aku segera mengabarkan keluarga Erima dan suara Ibundanya di telepon berbalas bahagia.

Dua hari setelah kepulangan, Morten menangis. Dia mengadukan bahwa Erima sudah punya kekasih baru, seperti yang dilihatnya di Facebook kala itu. Sehari setelahnya, Erima mengirim pesan bahwa dia sangat berterima kasih dan bercerita tentang perjodohan orangtuanya. Aku hanya menghela napas ketika Erima menyebut Morten jahat setelah berjuta kebaikan diberikan untuknya. “Rima, perbaiki hubunganmu dengan Morten, dia tulus mencintaimu. Kemudian, tinggalkan masa lalumu setelah pergi dan indahkan masa depanmu di negrimu sendiri, bukan disini”.

Sketsa perjalanan ini kusimpan rapi di album memori. Suatu hari pasti akan kubuka kembali jika rasa lelah tak henti bergulat dengan hidup. Nikmat mana lagi yang aku dustakan, Duhai Tuhan yang tanpa-Nya aku bukan apa?

Ini kisahku di negri tetangga, ucapku syukur karena Allah memberiku jutaan senyum tanpa tangis. Tersempil pertanyaan mengharap hikmah “Kuatkah aku jika menjadi Erima?” Mungkin, diri ini tidak sekuatnya. 
 
 
 

Pemberi Harapan Pasti




Sejauh apapun kamu berlari, dia akan tetap berdiri disini. Menunggumu berbalik arah, menanti kedatanganmu dari tempat yang mungkin belum pernah kamu lalui.
“Bushra, ayo siap-siap. Hari ini kita akan ke rumah tetangga baru”, panggil Aba, Ayahnya.
 “Baik, Abi. Memang siapa Bi tetangga kita yang baru?”, Bushra terlihat penasaran.
 “Kemarin mereka lihat-lihat rumah kita yang dijual. Anaknya itu ternyata teman kamu di Pondok. Laki-laki”, jawab Umma. Bushra adalah seorang gadis berusia enam belas tahun yang sedang mengenyam pendidikan di sebuah pesantren di Ibu Kota. Sebut saja Pondok Pesantren Al-Mau’idzah, Bushra sudah lima tahun menimba ilmu disana.
Bushra tersenyum, entah apa yang terlintas di pikirannya. Mungkin hatinya kini sedang sibuk bertanya “Wah, ikhwan. Angkatan berapa ya? Siapa ya namanya? Bagaimana ya orangnya?” dan lain sebagainya. Maklum, anak baru gede seumur Bushra sedang senang-senangnya ‘mencuci mata’. Meskipun ada batasan antara santriwan dan santriwati di Pondoknya, namun selalu ada saja celah yang dipikirkan remaja masa kini.  
Lamunan Bushra terhenti ketika Aba membunyikan klakson mobil, melambaikan tangan mengajak anak gadisnya agar segera memasuki mobil. “Mengapa ke rumah tetangga saja harus mengendarai mobil?”, Bushra bertanya dalam hati. Sepuluh menit kemudian, pertanyaan itu pun terjawab.
                        Seorang Bapak menunggu di gerbang rumah bertingkat dua, ketika melihat Aba berjalan mendekat, Bapak tersebut segera menyambut Aba dan Umma dengan senyuman dan salam.
            “Assalamualaikum Bapak Ibu, wah ini ya yang namanya dik Bushra. Cantik masha Allah”, seorang Ibu mendekati kemudian mengelus pipi Bushra. Tatapan dan senyuman Ibu tersebut sangat bersahabat, menularkan kehangatan yang mampu dirasakan Bushra.
            Panggil saja Ibu Rima, beliau bertanya kepada Bushra tentang sosok laki-laki disebuah bingkai foto yang terpasang di dinding ruang tamu. Bushra menggeleng, mengaku tidak kenal. Senyuman tersimpul halus dari bibir Ibu Rima, disusul dengan senyuman Aba dan Umma. Dari situ Bushra tahu bahwa ada satu hal yang mereka sembunyikan. Baiklah, Bushra akan bertanya ketika pulang nanti. Tidak lama kemudian, Aba berpamit pulang.
            Ditengah perjalanan, Bushra bertanya kepada Aba dan Umma tentang laki-laki yang ditanyakan Ibu Rima. Mendengar jawaban keduanya, jantung Bushra mendadak berdenyut lebih kencang, bulu kuduknya perlahan berdiri. Bushra terdiam, dia tidak berkata apa-apa.
            Kehidupan Bushra mulai berubah, disaat liburan bulanan, Aba dan Uma selalu membuat jadwal makan malam dengan keluarga Ibu Rima. Kali itu, Bushra melihat seorang laki-laki berjalan memegangi tangan kanan Ibu Rima. Bushra menyadari bahwa laki-laki itulah yang ada di foto. Bushra melempar senyum kepada Ibu Rima dan keluarganya, kini dia tahu bahwa laki-laki itu bernama Rafa.
            Bushra dan Rafa dijodohkan, begitulah bahasa yang paling singkat untuk menjelaskan keadaan keduanya. Hari demi hari hubungan mereka mulai erat, meskipun Bushra sekolah didalam Pesantren, namun hubungan keduanya tetap terjalin ketika liburan. Rafa yang kini sedang kuliah sarjana pun selalu menyempatkan pulang ke rumahnya ketika Bushra libur. Dua bulan setelah makan malam pertama, Bushra yang kini fokus dengan ujian akhir Pondoknya mulai jarang menghubungi Rafa. Bushra tahu bahwa Rafa sudah mencintai dirinya, namun lain halnya dengan Bushra, dia merasa bahwa perasaan cinta masih belum muncul. Meskipun setiap minggu Rafa selalu datang ke Pondok untuk menitipkan bunga mawar kesukaan Bushra, namun bukankah cinta tidak bisa dipaksa untuk hadir?
“Mahabbah (cinta) itu datangnya dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, memintanya melalui doa bukan selalu mengundangnya hadir. Allah, Sang Pemilik Cinta, Maha Penggenggam Hati, paling tahu kapan seharusnya Dia datangkan cinta kepadamu. Karena tepat menurutmu, belum berarti tepat menurut-Nya”, Bushra melihat petikan kalimat indah yang menggelitik hatinya. Mungkin ini jawaban untuknya tentang alasan mengapa belum juga bisa menyayangi Rafa. Waktu yang disediakan Allah untuk Bushra kali ini bukanlah untuk mengurusi perasaan cinta, juga bukan demi mengabdi pada hakikat kasih makhluk yang membawanya lebih dekat dengan Tuhannya. Kini, yang Allah sediakan adalah waktu untuk menjadi santriwati yang siap lulus ujian, demi mendapatkan gelar terbaik seperti mimpi Bushra dulu.
Tidak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Dengan penuh kerja keras, Bushra berhasil lulus ujian dengan predikat Mumtaz (sangat baik). Bushra sukses membuat Aba dan Umma menangis bahagia, dia tidak berhenti bersyukur kepada Allah karena hadiah yang mahal itu bisa menjadi miliknya. Air mata orangtua memang kebahagian paling mahal menurut Bushra. Rafa pun turut hadir di momen bahagia itu, mengucapkan kata selamat dan mendoakan keberkahan untuk Bushra.
Setelah lulus, Bushra mengikuti les di Pare, Kediri. Lagi-lagi dia harus berpisah dengan Aba, Umma dan keluarganya. Selang beberapa hari di Pare, kakak Bushra, Mas Hadi mengabarkan informasi yang membuat Bushra terkaget.
“Rafa selingkuh, dik”, Mas Hadi mengirim bukti percakapan antara Rafa dan seorang perempuan di sebuah media sosial. Bushra sangat kecewa, jelas saja, dia merasa dikhianati. Bushra sadar meskipun Aba dan Umma tidak pernah menyatakan bahwa Rafa dan dirinya 100% akan menikah, namun komitmen tersembunyi antara kedua keluarga bisa menjadi bukti bahwa hubungan mereka serius. Sejak saat itu, tanpa perlu bertabayyun (meminta penjelasan), Bushra mulai membenci Rafa.
Dua bulan adalah waktu yang cukup singkat untuk mengambil les di Kampung Inggris tersebut. Bushra kembali ke daerahnya dengan niat bahwa dia akan membeberkan semua pengkhianatan Rafa. Sejak satu bulan terakhir, Bushra berhenti menghubungi Rafa.
Sesampainya di rumah, Bushra menghela napas panjang kemudian meminta maaf kepada Aba dan Umma apabila sikapnya nanti ada yang berubah, khususnya kepada keluarga Ibu Rima. Dengan penuh kekecewaan, Bushra memperlihatkan segala foto dan bukti perselingkuhan Rafa yang dicuci cetak oleh kedua kakaknya. Aba berusaha menahan emosi, dilihatnya foto Rafa dengan perempuan yang dipanggilnya dengan sebutan Putri. Semua terdiam, keheningan mulai terpecah ketika Bushra mengatakan lantang “Aku tidak sudi dipersuntingnya”, dari situ masalah kembali menyapa. Setelah mendengar keputusan Bushra, tidak bisa lagi Umma membendung kekecewaannya. Entah apa yang disembunyikan Umma, rasanya kekecewaan itu seakan menggunung membuat dadanya sesak.
 “Saya memohon maaf dan akan bertanggung jawab atas kesalahan saya”, Rafa menunduk malu sambil memohon maaf kepada Abba. Bushra yang hadir disitu juga sempat menguatkan suara, berkata tentang pentingnya kejujuran dan kepercayaan. Meskipun Bushra sangat jarang menghubungi Rafa, mungkin hanya dua minggu satu kali, namun Bushra tidak bisa dibohongi dengan cara seperti ini. Yang menjadi titik kekecewaannya bukanlah perasaan miliknya, namun perasaan dan harapan Aba, Umma serta kedua orangtua Rafalah yang sedari dulu sudah saling bertaut.
Ibu Rima mengidap penyakit jantung sejak kecil, umurnya yang semakin tua membuatnya harus ekstra hati-hati khususnya dalam menjaga emosi jiwa. Rafa berusaha menjelaskan kesalahannya, dia diusir dari rumah karena Ibu Rima sangat kecewa dengan kelakuan anak laki-lakinya itu. Malam harinya, Ibu Rima menemui keluarga Bushra, meminta maaf sekaligus menyalahkan.
“Kalau dik Bushra tidak bersikap dingin terhadap Rafa, tidak mungkin Rafa berbuat semacam ini”, tangisan dan permohonan Ibu Rima tetap tidak dipedulikan Bushra, dia terlihat begitu sombong sambil mengatakan,
“Sudah Ibu, bukankah jodoh tidak akan pernah tertukar? Jika nanti kami berjodoh, sejauh apapun kami berpisah, takdir pasti yang akan menjadi penghubungnya”, Ibu Rima yang mendengar jawaban Bushra menimpali “Tidak bisa! Inilah ikhtiar kami yang diinginkan Allah, kalau kami tidak usaha, bagaimana mungkin Allah membiarkan kami mendapatkan apa yang kami inginkan?”, Aba mulai kebingungan, Mbak Zulfa dan Mas Hadi diminta datang ke rumah sekarang juga.
“Ibu, mari kita serahkan semuanya kepada Allah. Kita harus percaya dengan segala jalan takdir-Nya. Bahwa nasi yang sudah ditangan pun masih mungkin terjatuh ketika akan dimasukkan ke dalam mulut, begitulah rezeki dan begitu pula jodoh. Jika memang Bushra bukan untuk Rafa, semoga keduanya mendapatkan pasangan yang saling memudahkan mereka untuk lebih mendekat kepada Rabbi”, kalimat Mas Huda menutup segala skenario drama malam itu. Keluarga Ibu Rima pulang dengan membawa kekecewaan. Sedangkan Bushra sebaliknya, dia tersenyum karena habis sudah kesempatan menangisnya. Ya, dia tidak pernah menangis selama satu tahun ini kecuali hanya karena memikirkan nasib dirinya dengan Rafa, si lelaki yang hadir tanpa diundang itu.
Satu tahun berlalu, hubungan antara keluarga Bushra dan keluarga Rafa sudah tidak sehangat dulu. Kini Bushra melanjutkan studi kuliahnya di negeri tetangga, Malaysia. Disana, Bushra mulai diganggu kembali dengan kehadiran laki-laki yang mengaku mengaguminya. Bushra bukanlah perempuan yang mudah menerima cinta, dia takut kecewa seperti ketakutannya terdahulu ketika disakiti Rafa. Hari demi hari dilewatinya, percakapan via Whatsapp antara Bushra dan kakak kelasnya, sebut saja Arham, berjalan bagai aliran air yang kian menenangkan. Arham yang dianggapnya dulu sebagai gangguan, kini dibalikkan Allah menjadi sebuah nikmat. Ya, Bushra jatuh cinta kepada Arham.
Bushra mulai mendoakan Arham dari jauh, ditiap sujud dan tahajjud, Bushra tidak pernah lupa menyebut nama pemuda berjarak usia 10 tahun diatasnya. Apa yang tidak dimiliki Arham? Dia adalah lelaki tampan yang pintar, Arham menghabiskan masa kuliahnya di Dubai, Uni Emirat Arab. Kesopanan dan kelembutan Arham berhasil memukau Bushra.
Tiga bulan berlalu dengan lambat dan hangat, sampai suatu hari keadaan terasa dingin ketika Arham memanggil Bushra dengan sebutan “Bushraku”, Bushra yang melihat pesan di Whatsapp tersebut merasa kesal. Sewajarnya, setiap perempuan menyukai panggilan tersebut, namun Bushra tidak seperti perempuan pada umumnya. Meskipun dia mencintai Arham, justru dirinya benci mendengar kata-kata itu. Setelah menjelaskan keberatan Bushra, Arham pun meminta maaf dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Setelah kejadian hari itu, Bushra memutuskan untuk menjauh. Perasaan cinta yang semakin berkembang diantara dirinya dan Arham merupakan ujian dari Allah, cinta belum halal ini tidak boleh berlanjut, tegasnya.
Enam bulan lamanya Bushra dan Arham memutuskan untuk saling tidak berkomunikasi. Meski tidak diucapkan, Arham sepertinya mengerti sikap diam Bushra. Justru sikap inilah yang membuat Arham melangkah maju. Setelah berbicara dengan gurunya, Arham menghubungi Bushra kembali dan berniat untuk bertemu Aba dan Umma.
“Datangkan saja, Aba ingin melihat Arham”, Aba mempersilakan Arham untuk datang. Bushra yang menghubungi Aba dari Malaysia segera mengabarkan Arham. Adalah sebuah kebahagiaan jika Arham benar-benar ingin berkenalan dengan Aba dan Umma minggu ini.
Memang mencintai hanya indah jika kita pautkan kepada Allah, bukan kepada makhluk-Nya. Arham melarikan diri, mungkin itulah kalimat yang pantas untuk pemuda yang tidak bertanggung jawab. Setelah bersilaturahim ke rumah Bushra, Arham meminta Aba dan Umma untuk datang sesekali ke rumahnya di Jakarta. Namun, setiap Aba ingin pergi kesana, Arham selalu membuat banyak alasan. Aba akhirnya meminta Bushra untuk melupakan Arham. Tanpa rasa sakit hati, Bushra sanggup move on dari Arham. Laki-laki yang sangat dicintainya kini hanya dianggapnya debu yang mudah sekali terbang kemudian menghilang. Dari awal, Bushra mencintai Arham karena Allah, dan Allah pula yang menanggalkan perasaan itu. Jika Arham mengecewakan orang yang paling dicintai Bushra, untuk apa lagi Bushra mempertahankannya?
“Percuma belajar tinggi-tinggi dan ikut pengajian dimana-mana kalau akhlak terhadap orangtua seperti ini”, Bushra meluapkan kekecewaannya. Sejak saat itu, Bushra kembali berhenti berhubungan dengan Arham yang sempat meminta maaf atas sikapnya.
Mungkin cinta masih belum berhenti menggoda Bushra, dua bulan kemudian, Burhan, kakak kelasnya di Pondok dulu menambah pertemanan di Blackberry Messenger Bushra. Tanpa basa-basi, setelah Bushra menerima pertemanan tersebut, Burhan menyatakan bahwa dirinya serius mencintai Bushra. Mungkin Burhan sudah lama mengintai sosial media Bushra karena dia adalah perempuan yang sangat aktif berdakwah melalui media sosial seperti Facebook dan Instagram. Kuliah sarjana di Kota Nabi, Madinah, dan hanya berbeda umur tiga tahun membuat Bushra segera meminta izin kepada Aba dan Umma untuk mendatangkannya. Mungkin terdengar tiba-tiba, namun untuk apalagi Bushra harus menunggu?
 “Kira-kira kapan Mas Burhan akan menikah?”, pertanyaan yang ditanyakan Bushra dijawab ragu oleh Burhan.
“Sebenarnya Ibuku mengizinkan setelah lulus S-2, tapi tenang saja, aku akan berusaha melobinya. In sha Allah dapat restu setelah S-1. Aku akan ke rumahmu liburan tahun ini”, jawaban Burhan merupakan suatu ketidakpastian. Bushra mulai bingung, dia hanya perlu menunggu satu tahun untuk lulus sarjana, sedangkan Burhan masih harus melewati waktu tiga tahun menuju kelulusan. Aba dan Umma sebenarnya sudah berharap cepat, Bushra sadari itu. Namun mungkinkah Bushra mampu untuk menunggu masa tiga tahun lagi?
Bushra memikirkan perjalanan cintanya yang belum berujung, ketika Burhan izin hadir dalam mimpinya, tiba-tiba Rafa pun terlintas dalam pikirannya. Rafa kini belajar dari kesalahan, dia tumbuh menjadi pemuda yang membanggakan. Agama, pekerjaan, dan studinya terlihat cemerlang. Lulus sarjana dengan predikat cumlaude kemudian melanjutkan  S-2 dengan beasiswa penuh membuat Bushra berpikir bahwa dirinya salah menilai Rafa. Bushra terlalu sombong dulu sehingga dia sempat memandang rendah Rafa yang menurutnya tidak sebanding dengan dirinya.
Bagaikan terbebani oleh sesuatu, Umma akhir-akhir ini sering terjatuh sakit sampai harus dirawat inap di Rumah Sakit. Setelah kondisi Umma membaik, Bushra menceritakan kebingungannya kepada Umma. Suara Umma terdengar ragu, sosok tua itu menarik napas panjang,
“Nak, coba kamu pikirkan lagi tentang Rafa. Sebenarnya, Rafa kini akan dilamar oleh seorang dokter”, Bushra terkejut. Ayah Rafa menanyakan keseriusan Bushra. Jika benar Bushra tidak mau lagi berhubungan dengan anak lelakinya, maka Rafa akan menerima pinangan dokter itu.
Bushra semakin kebingungan. Sejak menghubungi Umma via telepon, Bushra memanjangkan solat malamnya. Kini dia mendawamkan solat istikharah. Berharap cahaya Allah segera menerangi jalan Bushra. Seminggu kemudian, jawaban untuk Bushra hadir. Burhan yang pernah didoakannya dulu berlaku kurang sopan padanya. Sama seperti Arham dulu, panggilan kurang pantas akhirnya terdengar lagi. Dikarenakan tidak ingin mengecewakan Umma, akhirnya Bushra menempatkan Rafa kembali di hatinya. Dia tidak peduli apakah akan mencintai Rafa atau tidak, hal terpenting kali ini adalah membahagiakan Aba dan Umma. Bushra tidak sanggup lagi melihat Umma jatuh sakit karena memendam banyak rahasia. Bushra tersadar bahwa Umma enggan memaksa anak gadisnya untuk menikahi Rafa, namun keluarga Ibu Rima kerap meminta kepastian Bushra.
“Bolehkah aku menikah enam bulan lagi?”, Bushra meminta izin kepada Aba dan Umma. Kebahagiaan tersirat dari kedua wajahnya. Bushra benar-benar tidak peduli akan keterpaksaannya. Setelah mendapatkan restu dari kedua kakaknya, Bushra menentukan tanggal pernikahan.
Siapa yang tahu bahwa Rafa, sejak dua tahun lalu sudah berdoa dan berkata kepada Umma, “Bunda, jika saya bisa menikahi Bushra, saya ingin menikahinya di bulan Juni 2015”, dan itulah yang terjadi. Doa Rafa terkabul, Bushra sendiri yang menentukan tanggal pernikahannya tidak pernah tahu tentang recana Rafa. Juni 2015 adalah harapan Rafa menikah, sama halnya dengan perencanaan Bushra. Selain itu, Rafa dulu juga pernah meminta saran Umma untuk mendatangkan Ustadz tersohor di Indonesia untuk menjadi wali nikah, dan ternyata doanya pun diijabah lagi. Ustadz itu sendiri yang menentukan waktu pernikahan, setelah Subuh pintanya, agar malaikat-malaikat masih mengelilingi jamaah para pejuang subuh dan turut mendoakan. Ada hal lain juga yang membuat Bushra semakin yakin bahwa Rafalah jodohnya, Rafa menawarkan tempat pernikahan di daerah yang agak jauh dari rumah Bushra. Sebenarnya Umma kurang setuju, keduanya berusaha mencari tiga pilihan tempat lainnya, namun apa mau dikata, ketiga tempat tersebut sudah disewa sampai bulan Juni dan hanya menyisakan tempat pilihan Rafa. Mungkin itulah kekuatan si pemberi harapan pasti, doa Rafa mampu melembutkan keras kepala Bushra.
            Beginilah akhirnya, Bushra termakan ucapannya sendiri. Dirinya tidak mendapatkan laki-laki yang dicintainya yaitu Arham yang sampai saat ini tidak pernah menjelaskan mengapa dia seakan menolak Bushra. Justru kini dia mendapati cinta pemuda yang dulu dibencinya. Kelembutan Rafa terhadap surganya didunia membuat Bushra tersentuh. Seorang anak laki-laki yang sangat menyayangi ibunya in sha Allah juga akan menyayangi istrinya sepenuh hati.
Teringat kata-kata Umma “Kita sebagai perempuan, lebih baik dicintai daripada mencintai”. Kini Bushra bangkit dari jurang kesombongan dan mulai tersadar. Apa yang dilakukan Rafa di masa lalunya adalah miliknya, begitupun masa lalu Bushra adalah kepunyaan Bushra. Dia siap membahagiakan bukan hanya kedua orangtuanya, namun juga orangtua Rafa. Sekali lagi Bushra percaya bahwa cinta akan datang dari Allah, dia tidak pernah takut melangkah karena perbuatannya sekarang adalah sumber kebahagiaan bagi orang disekitarnya, terutama obat bagi sakit Umma dan jantung Ibu Rima, meskipun selalu saja ada pihak lain yang harus tersakiti, “Burhan, maafkan aku. Semoga Allah menganugerahi istri yang lebih baik dariku”, inilah harapan Bushra di malam sebelum akad pernikahannya. Memang benar kata Allah, boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, begitu pula sebaliknya.